Pada 2009, Farha Ciciek dan pindah, Supohardjo, pindah dari Jakarta ke Desa Ledokombo, Jember, Jawa Timur. Mereka pulang ke kampung halaman untuk merawat ibu sang suami, yang beranjak lanjut usia. Dua anak lelaki ikut diboyong untuk tinggal di sana. Anak-anak ini sebelumnya tumbuh di Jakarta, telanjur mengenal fasilitas perkotaan. Bukan hal yang mudah untuk cocok sesuai dengan kehidupan pedesaan, 35 kilometer dari pusat kota Jember.
Ingin membuat anak-anak kerasan, Supohardjo mencari-cari kegiatan yang cocok untuk membuat mereka tetap aktif. Mulailah ia mengeksplorasi hal-hal yang dapat dimanfaatkan dari lingkungan sekitar. Egrang dipilih karena bahannya mudah dan murah didapat. Lagi pula, Rumah punya halaman luas yang bisa dimanfaatkan untuk bermain.
Kedua anak Supohardjo langsung terpikat dengan egrang, permainan yang mereka temukan di Jakarta dulu. Lambat laun bukan hanya mereka yang bermain di halaman rumah. Anak-anak berbaring di rumah mulai berdatangan untuk ikut bermain. Tak hanya itu, mereka mengembangkan permainan egrang menjadi tarian. “Tarian egrang ini bukan kami yang mengembangkan, tapi anak-anak. Saat kita memberikan ruang untuk anak-anak, maka akan tercipta kreativitas, ”jelas Supohardjo.
Farha dan Supohardjo kemudian mulai bergerak untuk memulai Tanoker. Dalam bahasa Madura, tanoker berarti ‘kepompong’, kata jamak untuk mengumpamakan fase transformasi menuju masa dewasa. Komunitas Tanoker memusatkan perhatian pada proses tumbuh-kembang anak-anak, membentuk lingkungan yang menyenangkan bagi mereka untuk bermain dan belajar. Egrang pun menjadi ikon, dan permainannya mengundang ketertarikan banyak untuk menonton.
Pada 2010, Farha dan Supohardjo menggagas perhelatan Festival Egrang yang pertama. Ketika masyarakat menghendaki festival diadakan kembali, Tanoker mencanangkannya menjadi festival tahunan. Perhelatannya dilakukan pada akhir pekan yang dekat dengan Hari Perdamaian Dunia, 21 September.
BACA: TiKet-berenang-di-tanoker-dengan-membaca-buku /
Sejak itu, festival ini telah memikat perhatian selama ribuan orang. Bahkan setelah sembilan kali diadakan, Festival Egrang bukan lagi perayaan milik warga desa saja. Bupati Jember, bersama Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB), telah menyetujui bahwa kegiatan ini mendongkrak nilai daerah. Anak-anak Tanoker kini telah berulang kali diundang berpentas di luar negeri, antara lain di Australia, Thailand, Jepang, Cina, dan Bangladesh.
Anak Sebagai Subjek
Pepatah “butuh sekampung untuk membesarkan seorang anak” mungkin ada benarnya. Menghabiskan waktu bersama anak-anak di Ledokombo menyadarkan Farha Ciciek akan hal itu. “Ternyata, pengasuhan itu bertentangan dengan pribadi, tetapi bagaimana masyarakat,” ungkapnya.
Di balik keceriaan anak-anak Ledokombo bermain egrang, ada beragam masalah sosial yang terjadi. Menjadi buruh migran adalah jalan yang diambil sebagian besar penduduk Ledokombo untuk lepas dari kemiskinan dan impitan uang. Tak cuma para perempuan, warga laki-laki Ledokombo juga menjadi buruh migran.
Jalan ini bukan tanpa perubahan. Anak-anak menjadi korbannya. Sebagian besar dari mereka tak lagi tumbuh dalam pendampingan. Banyak yang putus sekolah, menjadi pembelian, bahkan kecanduan narkoba. Setelah akhirnya pulang pun, masih ada dampak sosial lainnya, misalnya perlawanan terhadap anak. “Keluarga inti anak-anak ini sudah tidak utuh. Mereka jadi tidak semangat bersekolah. Kami ingin membangun (atmosfer) jika hal tersebut harus diterima dan mereka harus tetap belajar, ”jelas Supohardjo.
Hati Farha dan Supohardjo terpanggil untuk melakukan sesuatu. Mereka tersadar bahwa masyarakat kerap lupa bahwa anak-anak berhak objek. Anak adalah subjek. Anak juga manusia, yang berhak atas kasih sayang dalam perkembangan dirinya. Absennya keluarga yang bisa dibuat sandaran jiwa membuat anak rentan akan reaksi negatif atas pembicaraan yang ia alami sehari-hari.
Sehari-ikut Tanoker mengadakan kegiatan musik dan seni untuk anak-anak. Motonya adalah “Bermain, mencerdaskan. Belajar, menyenangkan. ” Setiap bulan diadakan Pasar Lumpur. Seperti namanya, berbagai kegiatan di Pasar Lumpur menghendaki pesertanya berusaha berlumuran lumpur dan kotoran. Ada outbond , permainan polo lumpur, karapan sapi, tarung bantal, estafet egrang, lomba bakiak, dan sebagainya. Seperti kata iklan di tivi, jika tak kotor, maka tak belajar.
Mulai 2016, anak-anak yang berkegiatan di Tanoker didukung untuk ikut musyawarah desa. Lewat forum itu, mereka mengangkat perbincangan tentang hubungan pembelian dan anak, juga menyuarakan kebutuhan mereka sendiri, yaitu bermain. Kebisaan menyuarakan aspirasi tak lepas dari hasil program-program pendampingan di Tanoker. Anak-anak usia 10 hingga 15 tahun dibor untuk berorganisasi, menciptakan aspirasi, dan tentu saja menyuarakannya. “Dulu, kalau bicara, kepala mereka menunduk. Sekarang dagu mereka sudah sejajar untuk berkontak mata, ”Supohardjo menerjemahkan perubahan yang terjadi pada anak-anak yang aktif di Tanoker.
Menularkan Semangat Maju
Setiap kali membuat program, manajemen Tanoker selalu mengutus staf kerja dari divisinya. Kelima divisi itu adalah penyelenggara acara , kriya Tanocraft, unit kolam renang, penanggung jawab sosial dan politik, serta administrasi dan keuangan. Sebagian besar dari staf ini adalah anak-anak muda. Ada yang datang dari masyarakat sekitar, ada pula yang mahasiswa dari Jember. Mereka mengikuti berbagai program pelatihan dan mengarahkan berbagai kegiatan internal. Buat, buat mereka untuk bicara di depan umum makin baik dan mereka makin aktif buat program masing-masing.
Jika awalnya hanya terpusat di Ledokombo, kini Tanoker juga berkegiatan di desa-desa sekitarnya. Desa Sumber Lesung, Sumber Salak, dan Selateng adalah beberapa di antaranya. Hal ini memang disengaja sebagai upaya Tanoker memeriksakan pengetahuan dan keterampilan masyarakat, terkait dengan isu buruh migran.
Haris (26), salah satu staf Divisi Event Organizer, berasal dari Desa Sumber Nangka. Ia pernah menyaksikan Festival Egrang sebagai penonton. Melihat anggota panitianya yang sibuk sambil memegang handie talkie , tak perlu berpikir, “Keren juga mereka. Kapan ya saya bisa pegang alat itu? “
Haris dulunya bekerja sebagai pencari rumput ternak dan membantu tetangga berjualan mi ayam. Kini ia aktif mengelola berbagai kegiatan Tanoker. Banyak hal yang dipelajarinya sejak bergabung pada 2015. “Dulu saya tidak mengerti bahasa Inggris, sekarang sudah paham. Saya juga mengerti prosedur mengatasi buruh migran. Bagaimana persyaratannya dan kontrak agar mereka terjamin, ”cerita Haris.
MEWUJUDKAN GERAKAN PANGAN SEHAT DARI DESA
Tak Lupa Berdayakan Para Ibu
Tanoker tidak hanya memutuskan untuk mengurangi perburuhan buruh migran terhadap anak-anak. Divisi khusus bertajuk Tanocraft adalah unit usaha kerajinan yang mengasuh para perempuan; baik yang pernah menjadi buruh migran maupun yang dipasangkan pasangannya bekerja ke luar negeri. Tujuannya, agar mereka bisa mandiri dan memiliki sumber pengetahuan sehingga tidak perlu lagi menjadi buruh migran. Tanocraft berpartisipasi sebagai fasilitator.
“Tugas saya sekarang sebagai motivator bagi para ibu. Juga mengorganisasi mereka dan sebagai konsultan unit usaha. Misalnya, bantu mereka membuat Surat Izin Usaha, ”papar Sutopo, staf Divisi Tanocraft yang sudah aktif sejak 2014.
Saat ini sudah ada kelompok usaha di Tanocraft. Masing-masing beranggotakan 10 orang perempuan yang memproduksi tas, topi, aksesori, serta batik bermotif egrang dan yoyo. Para pendamping di Tanocraft membekali mereka dengan manajerial, menyediakan bahan baku, membantu mengecek kualitas produksi, dan membukakan saluran pemasaran.
Kendala sudah pasti ada. Salah satu yang terbesar adalah mental para ibu. Pada dasarnya, mereka adalah ibu rumah tangga, yang bisa bekerja selama tiga sampai empat jam saja. Agar terbangun komitmen profesional, untuk memenuhi tenggat dari pelanggan, pendamping Tanocraft harus proaktif mencari cara. Salah satu yang dilakukan Sutopo, misalnya, adalah menyediakan bonus kompilasi ibu-ibu perajin yang bisa melampaui target.
Kemampuan komunikasi juga menjadi ganjalan. Jadi latar belakang pendidikan mereka belum sampai tingkat SMP, jadi kurang percaya diri untuk berbicara dengan orang-orang dari luar Ledokombo. Namun, ganjalan tetap tidak berhasil Keberhasilan mereka dalam berproduksi. Sudah ada kelompok yang berhasil menjual barang kriya sebagai cendera mata pernikahan dan bisa menghasilkan enam ratus ribu rupiah hingga satu juta rupiah setiap bulan.
Bukan Lagi tentang Kriminalitas
Pada awal kedatangan mereka, Farha dan Supohardjo hanya bisa menemukan nama Ledokombo dalam berita-berita tentang kriminalitas dan kemiskinan. Sekarang tidak lagi Upaya mereka membangun Tanoker memperbaiki citra daerah. Berita-berita seputar Ledokombo hadir tentang pencapaian dan penghargaan.
Farhafaat betul pengalaman lebih dari 20 tahun di berbagai organisasi membantu dan pemberdayaan perempuan; begitu pula Suporahardjo yang akademisi dan pegiat di bidang Lingkungan. Pengalaman dan jejaring mereka memberikan Tanoker mengundang berbagai pihak menjadi mitra. Sejak awal penyelenggaraan Festival Egrang, mereka mengundang rekan-rekan peneliti dari berbagai negara untuk menjadi juri festival.
Tanoker juga aktif menggandeng pemerintah dalam kegiatan-kegiatannya. Festival Mulanya Egrang hanya melibatkan kecamatan yang sedang berlangsungnya acara. Pada 2012, Festival Egrang IV sudah mendapat bantuan dana dari Pemerintah Kabupaten Jember. Selain itu, Pemkab juga mengadakan Festival Egrang sebagai bagian dari kalender kegiatannya. “Ini bagus. Supaya kami tidak senang dan festival ini jadi milik masyarakat, ”tutur Supohardjo bersemangat.
Selain lewat situs resmi Pemkab Jember, Festival Egrang dipromosikan dari mulut ke mulut dan lewat media sosial di internet. Cara ini terbukti efektif. Sebuah komunitas Egrang dari Belgia, bahkan meminta diri sendiri untuk ikut mengisi Festival Egrang IX tahun ini. Mahasiswa dari berbagai universitas di Jember juga selalu senang untuk terlibat sebagai relawan, yang berhasil bisa mencapai 250 orang.
Meski demikian, Festival Egrang tetap dijaga sebagai perayaan warga senior setempat. Wargalah yang menjadi penggerak utama dan penampil dalam festival. Setelah menyiapkan makanan untuk para pengunjung. Hasil kriya para peserta Tanocraft juga dipasarkan sebagai cendera mata khas.
Pemerintah Daerah Jember saat ini telah merencanakan Tanoker dalam perumusan Rencana Pengembangan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Tanoker setuju Jember sebagai kota layak anak, termasuk anak-anak difabel dan mereka yang termarjinalkan. Tanoker dilibatkan dalam gugus tugas pelaksanaan program itu.
Dengan kemajuan-kemajuan yang telah diciptakannya, Tanoker tak berpuas diri. Banyak hal yang ingin mereka benahi. Pengembangan kapasitas SDM, misalnya, belum dapat dilakukan secara sistematis. Langsung staf masih belajar mandiri lewat pengalaman langsung di lapangan. Belum lagi kekurangan sarana, alat transportasi dan transportasi. “Mobil penting untuk kami. Ini kecamatan kecil, jarang ada moda transportasi yang lewat, ”mereka berkisah. Dengan sarana yang lebih lengkap, Tanoker berharap dapat mencapai visi baru mereka tentang Ledokombo: kampung wisata belajar.
Dikuitip dari http://koalisiseni.or.id/tanoker-menjemput-masa-depan-dengan-egrang/