Oleh : Dr. Ir. Suporahardjo M.Si
“salah satu dari pada problem-problem itu ialah problem makanan rakyat“ (Petikan Pidato Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, 27 April 1952. Saat acara peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia –sekarang IPB).
Waktu pidato itu dikumandangkan oleh Ir. Soekarno, rakyat Indonesia masih berjumlah 75.000.000 jiwa. Namun hebatnya Soekarno waktu itu sudah menyadari dan memahami tentang pentingnya kemandirian kedaulatan pangan bagi bangsa Indonesia. Pada tahun 1940, menurut Soekarno, makanan di Indonesia dalam setahun jika dibagi rata-rata antara rakyatnya per orang menjadi 86 kg beras , 36 kg jagung, 162 kg ubi kayu, dan 30 kg ubi jalar atau jumlah kalori yang dimakan oleh satu orang setahun setara denga 1.712 kalori. Pada saat itu (tahun 1952) Soekarno sudah menyadari untuk menjadi bangsa yang sehat dan kuat paling tidak kebutuhan kalori setiap orang minimal 1850 kalori dan beliau bercita cita naik menjadi 2250 kalori.
Dulu pangan lokal beraneka ragam selain ada beras juga ada jagung, sorgum, ubi-ubian dan sagu. Pada tahun 1950-an masih sekitar 50% yang tergantung pada makanan pokok beras, namun dengan perjalanannya waktu, rezim Orde Baru berhasil memasyarakatkan makanan pokok yang semakin tergantung pada beras dan terigu impor. Rezim penguasa pemerintahan berikutnya juga tidak berhasil melakukan diversifikasi pangan lokal kita. Ketergantungan pada beras sudah mendekati angka 100%.
Bagaimana kondisi saat ini, penduduk Indonesia yang belum mampu memenuhi kebutuhan energi minimum untuk makanan mencapai 16,46% pada tahun 2011. Jumlah ini berkurang cukup signifikan pada tahun 2017, yaitu menjadi 8,26 % . pada tahun 2017, BPS menyatakan prevalensi penduduk yang berada pada skala kerawanan pangan sedang atau berat sekitar 8,66%. Artinya setidaknya terdapat 9 dari 100 penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan guna mencukupi kebutuhan energi sehari-hari. Asupan kalori minimum yang dianjurkan untuk konsumsi setiap penduduk yaitu 1400 kkal/kapita/hari disesuaikan dengan tingkatan usia. Proporsi penduduk dengan asupan kalori minimum dibawah 1400 kkal/kapita/hari mengalami penuruan secara nasional dari 12,96 % pada tahun 2015 menjadi 7,90% pada tahun 2017 (Indikator Tujuan pembanguan Berkelanjutan – TPB Indonesia, 2018). Jika melihat data ini, cita-cita presiden pertama Ir. Soekarno masih relevan, yaitu segera menaikkan kebutuhan kalori setiap orang Indonesia menjadi 2250 kalori.
Masih ingat dengan slogan “empat sehat lima sempurna”, mungkin banyak yang tidak tahu kalau konsep pedoman gizi ini diperkenalkan sejak tahun 1952. Pada tahun 1955, konsep pedoman gizi tersebut mengalami perbaikan dan baru pada tahun 1990 mengalami penyempurnaan, kita punya pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Pada tahun 2014 pedoman Gizi tersebut lebih disempurnakan lagi, seperti yang kita kenal sekarang, disebut “piring makanku”. Porsi sekali makan itu harus dalam komposisi seimbang antara makanan pokok, sayuran, lauk pauk dan buah-buahan.
Memasyarakatkan pola makan sehat seimbang ini, terutama di kalangan keluarga rumah tangga sulitnya luar biasa. Keluarga jaman sekarang lebih suka makanan makan cepat saji dan mie (bahan baku terigu) dan anak-anak suka mengkonsumsi jajanan tidak sehat. Berdasarkan hasil studi (2018) pola makan sehari-hari di 6 (enam) kecamatan di Kabupaten Jember, tingkat konsumsi gula, garam, dan penggunaan penyedap rasa (MSG), serta konsumsi makanan ultra proses masih tinggi—terutama saos. Serelea merupakan salah satu kelompok pangan paling banyak dikonsumsi. Beras merupakan urutan pertama yang paling banyak dikonsumsi, kemudian tepung terigu, kerupuk, mie instan, mie kuning dan bihun. Oleh karena itu, jika berharap kondisi kesehatan masyarakat di masa mendatang menjadi lebih baik, mungkin masih jauh dari harapan bila pola makan sehari-harinya masih belum sesuai dengan pedoman gizi seimbang dan keragaman makanan pokok lokal nya rendah—dominan beras dan olahan terigu.
Berdasarkan masalah tersebut di atas, mampukah gerakan pangan sehat di desa menghadapi tantangan besar yang harus dihadapi untuk membangun masyarakat sehat, karena pertama, pengaruh pola konsumsi makanan siap saji yang banyak dikelola perusahaan multinasional dan menu model makanan siap saji ini masuk ke warung-warung makanan di pedesaan secara masif; kedua, wilayah pedesaan telah menjadi sasaran ditribusi beragam makanan ultra proses, aneka jajanan dan minuman tidak sehat, dalam hal ini anak-anak menjadi korban utama; dan ketiga, kebijakan pemerintah untuk diversikasi produk pangan lokal dan memasyarakatkan keragaman makanan pokok belum berhasil bahkan boleh dikatakan gagal—prosentase ketergantungan konsumsi beras dan olahan terigu semakin meningkat tidak pernah turun.
Jika melihat Kondisi gerakan pangan sehat di desa boleh dikatakan memprihatinkan, tidak banyak terutama elit desa baik tokoh agama maupun tokoh masyarakat serta para warga terpelajar yang menyuarakan kegelisahan dan kegusarannya terhadap kondisi pola dan sumber makanan sehari-hari warga di desa—mulai dari eyang-eyang, bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda-pemudi, dan anak-anak. Sehingga mengharapkan adanya gerakan pangan sehat dimana warga secara bersama-sama bergerak dan memperjuangkan warga untuk memiliki kesadaran tentang pentingnya mengkonsumsi makanan dan minuman yang aman dan sehat masih belum nampak. Agen-agen yang bergerak di pedesaan masih terbatas para petugas kesehatan masyarakat dan ibu-ibu PKK secara terbatas hanya bergerak di pusat posyandu balita dan lansia, itupun sekedar check up kesehatan.
Oleh karena itu menumbuhkan gerakan pangan sehat di desa merupakan pekerjaan rumah bersama semua pihak terutama aksi bersama dalam membangun kelembagaan dan tumbuhnya beberapa hal berikut ini: pertama, kesadaran pentingnya memperbaiki pola konsumsi makan sehari-hari keluarga agar asupan energi tercukupi sesuai dengan pedoman gizi seimbang antara makanan pokok, sayuran, lauk pauk, dan buah-buahan; kedua, kesadaran untuk meningkatkan upaya menanam dan mengkonsumsi aneka ragam pangan lokal seperti umbi-umbian, sayuran dan buah-buah; ketiga, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan keluarga—terutama anak-anak—untuk melindungi keluarganya dari makanan jajanan dan minuman tidak sehat di sekitar kita; keempat, aksi belajar bersama ibu-ibu, bapak-bapak, eyang-eyang dan anak-anak membuat kuliner alternatif yang lebih aman dan sehat; kelima, kampanye terus menerus ke semua lapisan masyarakat dan aneka komunitas —terutama lembaga pendidikan—tentang bahaya makanan yang tidak aman dan tidak sehat; keenam, terbentuknya jaringan komunitas/kelompok-kelompok pecinta kuliner aman dan sehat di pedesaan di semua lapisan masyarakat—ibu, bapak, eyang dan anak-anak;; ketujuh, mendorong tumbuhnya warung-warung/rumah makan/kantin kuliner aman dan sehat; dan kedelapan, adanya arena tahunan untuk meningkatkan kapasitas dan kepercayaan diri para pecinta kuliner yang aman dan sehat dalam bentuk festival kuliner tahunan.
Untuk mewujudkan aksi bersama diatas sehingga ini menjadi gerakan pangan sehat yang kuat di desa perlu ada dukungan dan partisipasi aktif semua pihak dengan komitmen dan integritas yang tinggi. Hanya dengan begitu kita akan menciptakan lingkungan yang ramah makanan dan jajanan yang sehat. Sudah saatnya sekarang bertindak jangan ditunda sebelum semua penyakit menggeroti tumbuh kita karena pola komsumsi makanan kita sehari hari tidak aman dan tidak sehat. Seperti yang dikatakan Martin Luther King, “Jika Anda tidak dapat terbang maka berjalanlah. Jika tidak dapat berjalan maka merangkaklah, namun apapun yang Anda lakukan Anda harus tetap bergerak maju”.