Dengarkan streamingnya yuk:
Dibalik keceriaan anak-anak buruh migran dan geliat ekonomi kreatif di kecamatan Ledokombo, ada sosok perempuan yang rela meninggalkan kemapanan hidup di ibu kota. Dia adalah Cicik Farha, pendiri kampung belajar “Tanoker” Ledokombo.
Ceritanya berawal sekitar 11 tahun silam. Saat itu Cicik memutuskan kembali ke kampung halaman suaminya di Ledokombo, untuk merawat orang tuanya yang sedang sakit. Cicik paham masalah pertama yang bakal muncul, adalah dua buah hatinya yang terbiasa hidup di kebisingan Jakarta. Ide spontan muncul. Supo Raharjo suami Cicik, mengenalkan kepada kedua anaknya permainan tradisional egrang. Cicik tidak menduga, belasan anak yang ditinggal orang tuanya bekerja sebagai buruh migran, ikut bermain bersama kedua anaknya.
CICIK mulai terusik. Sesekali di sela-sela menemani anak-anak yang sedang asyik bermain, Cicik menanyakan apa yang paling mereka inginkan. Anak-anak menjawab ingin orang tuanya pulang. Jawaban lugu anak-anak ini membuka mata Cicik, anak-anak yang disebutnya yatim piatu sosial ini belum ada yang memperhatikan. Hingga Keputusan meninggalkan ibukota selamanya dan menetap di Ledokombo semakin bulat.
Cicik sadar, muskil minta apalagi memaksa buruh migran di desanya pulang kampong. Sebab kepergian mereka keluar negeri adalah keterpaksaan. Keterpaksaan akibat himpitan ekonomi. Tetapi Cicik merasa setidaknya bisa memenuhi keinginan anak-anak buruh migran untuk tidak tercerabut dari dunia anak, dunia bermain, dunia penuh keceriaan. Tidak ada lagi anak yang merasa menjadi yatim piatu social, gegara ditinggal orang tuanya bekerja sebagai buruh migran.
Keputusan Cicik meninggalkan kemapanan, dan menetap di kampung miskin di pinggiran kabupaten Jember, tentu bukan keputusan yang mudah. Tetapi hasrat untuk mengembalikan harapan dan keceriaan anak-anak Ledokombo ternyata jauh lebih kuat, mendorong Cicik menjatuhkan pilihannya. Hasrat itu meletupkan gagasan membentuk komunitas bermain dan belajar ‘’Tanoker”. Tanoker adalah kata yang diambil dari bahasa madura yang berarti “kepompong”. Cicik berharap, anak-anak Ledokombo seperti layaknya kepompong, ada saatnya mereka tumbuh dan berubah menjadi kupu-kupu yang indah.
Sekarang tanoker lebih dari sekadar taman bermain. Kepompong berubah menjadi pusat produksi ekonomi kreatif masyarakat setempat. Rumah-rumah warga di sulap menjadi gallery kerajinan khas Ledokombo, namanya Tanocraft. Wisatawan lokal dan mancanegara berdatangan, untuk melihat 7 destinasi wisata perdamaian yang kini dimiliki Tanoker Ledokombo.
Sedikitnya 100 rumah warga berubah menjadi penginapan, bagi wisatawan yang ingin merasakan tinggal bersama warga local. Eni Jumiati adalah salah satu mantan buruh migran, yang rumahnya diubah menjadi menjadi rumah menginap. Dengan singkat eni menyatakan ikut merasakan manisnya geliat tanoker.
Cicik Farha telah membawa Ledokombo mendunia. Pernah mendampingi perempuan korban kerusuhan Mei 98, pernah mendampingi penyintas korban bom Bali dan Jakarta, pernah pula mempertemukan dan mendamaikan korban dengan para pelaku pengeboman. Pantas saja jika penghargaan demi penghargaan diterimanya. Ada anugerah Social Motivator dari Ashoka international, She Can Award dari Tupperware, dan Kartini Award dari PT. Telkom Indonesia.
masyarakat duniapun mengakuinya. Cicik Farha tercatat sebagai 1000 perempuan dunia nominator penerima nobel perdamaian. Dan penghargaan itu ternyata tidak menggerogoti keteguhannya merawat tanoker. Keceriaan anak-anak Ledokombo masih terdengar hingga kini.
Sumber: kissfmjember.com