“PENTINGNYA PERLINDUNGAN TERHADAP BURUH MIGRAN INDONESIA (BMI) DAN ANGGOTA KELUARGANYA “
Oleh: Iwan Joyo Suprapto, S. Sos. I
Komunitas Tanoker Ledokombo Kembali mengadakan Workshop tentang Desa Peduli Buruh Migran Dan Anggota Keluarganya (Desbumi) Dengan tema, Pentingnya Perlindungan terhadap Buruh Migran Indonesia (BMI) dan Anggota Keluarganya dari tingkat Desa, yang dilaksanakan selama dua hari yakni, pada hari Senin dan Selasa, 26 – 27 September 2016. Acara yang di ikuti oleh beragam lapisan masyarakat desa Ledokombo mulai dari perwakilan dari keluarga buruh migran, Perangkat Desa Ledokombo, anggota BPD, tokoh agama dan masyarakat.Selain itu, juga hadir dalam kegiatan tersebut kepala Desa Sumbersalak serta beberapa keterwakilan dari mantan Buruh Migran Asal Desa Sumbersalak. Tampak hadir sebagai pemateri dalam kegiatan Tersebut Moh. Kholili yang merupakan direktur Migran Aid Indonesia, Sri Wahyuningsih dari WCC (Women Crisis Center Dian Mutiara, Malang).Hadir juga kepala desa Panggungharjo dari Kabupaten Bantul Yogyakarta,Bapak Wahyudi Anggoro Hadi, yang juga mengisi di acara tersebut
Di hari pertama, hadir sebagai pemateri,Sri Wahyuningsih yang merupakan pengurus dari Women Crisis Center Dian Mutiara,mempersentasikan perlindungan dan pemenuhan hak terhadap anak. Menurutnya sejumlah desa di Indonesia mempunyai hak atas kekuasaan hukum dan harus mampu mengimplementasikan undang-undang ketenagakerjaan yakni berupa Perdes. Haltersebut di maksudkan agar perlindungan Buruh Migran Indonesia merasa di lindungi dari bawah yakni, Desa yang mempunyai peranan di situ. “ Setiap pemerintahan desa wajib melindungi warganya yang ada di luar, baik itu di luar daerah maupun di luar negeri, Jelas salah satu dosen dari Universita Brawijaya tersebut. Selain itu di jelaskan bahwa seharusnya hak anak Buruh Migran Indonesia (BMI) harus dituangkan dan diprofilkan serta disusun dalam perdes.
Selain itu, dilihat dari kinerja aparat pemerintah, terlihat bahwa respon dan penanganan buruh migran tidak berjalan secara sistematis dan komprehensif. Berbagai respon dilakukan hanya bersifat reaksioner, tanpa menyentuh akar persoalan yaitu sistem perlindungan buruh migran yang berperspektif gender dan HAM. Akibatnya banyak buruh migran yang mengalami kesulitan dalam menuntut dan mengakses hak-haknya yang terlanggar. Lebih parah lagi, banyak buruh migran perempuan yang dipersalahkan pada saat mereka mencoba menyampaikan pengaduan atau berkoordinasi dengan aparat pemerintah untuk menangani kasus pelanggarannya.Harapankepada pemerintah paling bawah yakni pemerintah desa harus benar benar mengawal dari tidak hanya bereaksi dan ikut prihatin
Sementara itu dihari yang sama, Moh. Kholili, selaku direktur Migran Aid Indonesia sekaligus konsultan ILO memaparkan bahwa, penting perlindungan buruh migran dan keluarganya dari tingkat desa, harus benar terwujud. Pasalnya banyak penanganan kasus yang terjadi seperti permasalahan BMI yang berasal dari Kecamatan Ledokombo yang bermasalah di luar negeri kemudian kepala desa atau lurah dimana TKI tersebut tinggal atau berdomisili tidak mengetahuinya, ini sangat tragis. “Nah bagaimana caranya agar permasalahan TKI ini dapat diketahui kepala desa, lanjutnya. Maka keberadaan PERDES perlindungan buruh migran dan anggota keluarganya itu menjadi penting. Didalam Perdes Perlindungan TKI itulah diatur mengenai prosedur dan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI. “Sebab rujukan dasar yang dipakai didalam Perdes Perlindungan TKI adalah Undang Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri dan peraturan di atasnya yang terkait dengan perlindungan TKI” .
Sementara itu Kepala Desa Sumbersalak, Abdul Haki mengatakan, jika wilayah yang dipimpinannya sudah menerbitkan PERDES nomor 05 Tahun 2015 tentang perlindungan Buruh Migran dan anggota keluarga, dia berharap agar perdes tersebut benar-benar ditaati oleh warganya.
“Salah satu tujuan PERDES yang di buat oleh kami adalah meminimalisir ruang gerak para calo calo.Hampir semua buruh migran yang berasal dari desa kami direkrut oleh para calo”. kata Haki
Pada hari kedua hadir bapak Wahyudi Anggoro Hadi yang merupakan kepala desa Panggung Harjo Kabupaten Bantul Yogyakarta. Desa yang pernah menjadi juara 1 Nasional dalam acara lomba desa tingkat nasional tersebut diharapkan memberikan beberapa motivasi kepada desa-desa yang ada di kecamatan Ledokombo terutama dalam pengelolaan Bumdes (badan Usaha Milik Desa ) khususnya desa binaan Tanoker Ledokombo. Menurut pengakuannya bahwa didesanya juga memiliki komunitas bermain.“Namanya Kampung Dolanan yang mempunyai nilai aspek yang sangat tinggi dalam pendidikan karakter karena menyediakan peluang untuk anak-anak agar bisa berkembang pesat dengan mengedepankan budaya lokal dan permainan tradisional, yang tidak jauh dengan Tanoker ini.” Kata Wahyudi
Lebih lanjut kepala desa Panggurharjo ini juga memaparkan pentingnya keberhasilan suatu desa tidak lepas dari inovasi yang diciptakannya dan kerjasama yang berkelanjutan antara pemerintah desa dengan warganya yang selalu berkomunikasi secara intens. Sedikit dia menceritakan geografis desa yang di pimpinnya saat ini.Desa Panggungharjo merupakan salah satu desa di Kabupaten Bantul yang jumlah penduduknya sebanyak 28.000 ditahun 2015. Ketidak seimbangan jumlah penduduk dan luas wilayah menimbulkan berbagaimacam masalah, salah satunya masalah sampah.Kemudian muncul prilaku sosial yang mengarah pada penyakit sosial dan perilaku membuang sampah sembarangan.Itu merupakan penyakit sosial. Ditahun 2014 desa tersebut mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) melalui usaha pengelolaan sampah. Kegitan yang di rintis oleh kepala desa ini memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya serta tidak tersedianya layanan pembuangan sampah menjadi awal mula membangun usaha jual beli sampah. Usaha yang telah dijalankan sejak tahun 2013 ini melayani penjemputan dan pengelolaan sampah milik masyarakat Desa Panggungharjo dan kini sudah memiliki aset sekitar Rp450 juta. Adapun Omzet perbulan mencapai Rp34 juta hingga Rp36 juta.
“ Salah satu program yang kami gencarkan adalah satu rumah satu sarjana. Kami ingin tingkat pendidikan masyarakat Panggungharjo semakin meningkat dari tahun ke tahun,” ujar Wahyudi.
Oleh sebab itu Wahyu Mendorong kepada pemerintah desa Ledokombo dan pemerintah desa Sumbersalak agar segera membentuk BUMDes karena kegiatan tersebut merupakan wadah usaha bagi desa, memiliki semangat kemandirian, kebersamaan dan kegotong-royongan antara pemerintah desa dan masyarakat untuk mengembangkan aset-aset lokal dalam memberikan pelayanan dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan desa.
“Setiap BUMDes bisa menjalankan usahanya sesuai kemampuan modal dan ketersediaan Sumber Daya Manusia yang dimiliki. Bisa dijalankan hanya satu kegiatan usaha, tetapi bisa juga merupakan gabungan dari kegiatan usaha. Jika masyarakat desa lebih kreatif, bisa juga dengan cara mengumpulkan modal bersama untuk dijalankan melalui pasar saham atau bursa,serta dapat menjalankan usaha produktif lainnya,” tutup wahyu.