Tahun 2019 ini, Tanoker telah menapak memasuki umur sepuluh (10) tahun. Banyak perubahan dialami, baik di lingkungan internal organisasi maupun lingkungan eksternal terutama dengan masyarakat sekitar dan jaringan dengan banyak pihak.
Secara kelembagaan tidak mudah bagi Tanoker dalam melakukan adaptasi terhadap dinamika perubahan, baik perubahan dalam organisasi ataupun komunitas. Kotter dalam pengantar buku “Leading Change” (2014) mengatakan bahwa membangun perubahan itu tidak cukup hanya memperbaiki manajemen, membutuhkan kepeminpinan. Manajemen hanya membantu sistem bisa bekerja. Tetapi kepemimpinan akan membangun sistem atau mengubah sistem lama. Kepemimpinan akan membawa ke wilayah yang baru dan agak asing atau bahkan sama sekali tidak Anda ketahui.
“Beragam tantangan yang sekarang terjadi terutama globalisasi yang ditandai dengan perubahan teknologi, perekonomian yang bergerak cepat serta tingkat migrasi (mobilisasi manusia) yang tinggi menuntut gerak cepat melakukan perubahan”, kata Kotter (2014). Dia mengingatkan bahwa sudah bukan zamannya menunggu atau menggunakan motto “kalau tidak rusak, jangan diperbaiki”. Perubahan bukan sekedar memperbaiki sistem manajemen tetapi juga perubahan dalam kepemimpinan. Dari pengamatan Kotter (2014; 31) bahwa transformasi perubahan dalam organisasi/perusahaan yang berhasil adalah 70% – 90% kepemimpinan, dan hanya 10% – 30% manajemen.
Konsep Kotter tentang perubahan ini menarik dan masih relevan, oleh karena itu perkembangan kepemimpinan perubahan yang terjadi di komunitas Tanoker akan coba dikaji dengan menggunakan analis perubahan yang diperkenalkan oleh John P. Kotter, yaitu Leading Change :An Action Plan from The World’s foremost Expert on Business Leadership. Boston. Massahusetts. Harvard Business School Press. 1996. Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Leading Change: Strategi Kepemimpinan Bisnis dari Pakar Kenamaan Dunia (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2014). Dalam buku ini menganasilis perubahan dalam konteks pengelolaan perusahaan, namun konsep perubahan ini juga dapat digunakan memahami perkembangan Tanoker sebagai sebuah organisasi yang sedang berkembang.
Menurut Kotter (2014; hal 19) ada delapan langkah penting dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sebuah organisasi. Pertama, membangkitkan rasa kemendesakan. Kedua, menciptakan koalisi pemandu; ketiga, mengembangkan visi dan strategi; keempat, mengomunikasikan visi perubahan; kelima, memberdayakan karyawan bagi tindakan berbasis luas; keenam, memunculkan kemenangan jangka pendek; ketujuh, mengonsolidasikan pencapaian dan menghasilkan lebih banyak perubahan; dan kedelapan, menanamkan pendekatan baru dalam budaya.
Dalam satu tahun terakhir ini, Tanoker telah melakukan rapat-rapat strategis cukup intensif dengan difasilitasi oleh sahabat-sahabat Tanoker yang memang telah berpengalaman dan aktif dalam beragam organisasi baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional. Hal ini dalam rangka membuat rasa mendesak dikalangan pegiat Tanoker, bahwa banyak hal harus segera diperbaiki, banyak mimpi harus dirumuskan dengan lebih baik di Komunitas Tanoker. Tanoker yang telah berkembang secara kelembagaan memiliki tiga ranah utama yang menjadi fokus kegiatannya, ranah pertama, tim yang fokus pada program-program yang bersifat sosial seperti pendampingan anak, pendampingan ibu-ibu, bapak-bapak dan eyang-eyang; ranah kedua, tim yang memfasilitasi pengembangan wira usaha sosial di bidang produk kerajinan, kuliner dan homestay milik warga Ledokombo; dan ranah ketiga, tim yang bertugas membangun kemandirian sumber-sumber pendanaan tanoker dengan melibatkan anak-anak muda Ledokombo dalam memberikan fasilitasi kepada tamu-tamu yang ingin melakukan kegiatan di Kampung Belajar Tanoker.
Dua tahun terakhir ini Tanoker mendapatkan beberapa pernghargaan baik secara kelembagaan maupun individual sebagai pelopornya, Farha Ciciek dan Suporarhardjo. Antara lain, pertama, secara individu Farha Ciciek dan Suporahardjo, pada tahun 2017 bersamaan dalam rangka HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke 72 mendapatkan penghargaan “Ikon Prestasi” bersama 72 orang lainnya dari berbagai bidang—olahraga, seni, sains, pecinta alam, kedokteran, kesehatan dan aktivis lainnya–di bidang Kewiriusahaan Sosial di Jakarta. Farha ciciek mendapat penghargaan Kartini Award dari organisasi KICI dan Suporahardjo mendapatkan penghargaan Alumni UGM award pada acara Dies natalis UGM akhir tahun 2018 yang lalu dalam bidang Pelestarian Kebudayaan; Kedua, secara kelembagaan, Tanoker mendapatkan penghargaan dari Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Timur sebagai destinasi sosial No. 2 se -Jawa Timur, ketiga, pada tahun 2018 mendapatkan penghargaan ISTA (Indonesia Sustainable Tourism Award) dari Kementerian Pariwisata Jakarta di bidang Pelestarian Kebudayaan. Beberapa penghargaan ini memberi semangat baru, bahwa apa yang dilakukan bersama anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak dan eyang-eyang serta dukungan berbagai pihak lainnya baik tingkat lokal, nasional dan internasional sudah berada pada jalur yang benar. Ini membuktikan bahwa organisasi yang tumbuh karena didukung oleh para penerima manfaat. Melalui penghargaan ISTA ini juga menjadi relfeksi untuk organisasi Tanoker karena ada tiga indikator penting dari penilaian ISTA, yaitu terkait indikator Tata Kelola Lembaga, Partisipasi dan Manfaat Ekonomi buat Masyarakat, Sosial budaya, dan indikator Lingkungan. Dari kajian ini menjadi nampak bahwa Tanoker menjadi kuat seperti sekarang ini karena tumbuh bersama dengan para penerima manfaatnya.
Tanoker yang telah memasuki tahun ke-10 ini mendapatkan banyak pujian. Kondisi ini sering menjadi pujian yang berlebihan, ini membuat para pegiat dan pengurus Komunitas Tanoker terlena dan sudah merasa puas diri. Beragam pujian kesuksesan ini bagi Tanoker dapat menjadi jebakan karena perubahan inovasi program dan organisasi terkadang merasa tidak perlu lagi, sehingga sering mendapatkan resistensi dan sinisme dari beberapa pegiatnya. Beberapa tahun terakhir ini dengan staf yang proses masuk dan keluarnya relatif cepat, juga cukup membuat sulit para pengurus dalam melakukan kaderisasi yang berkelanjutan untuk memfasilitasi program-program yang sedang dikawal oleh Tanoker. Meskipun begitu, Tanoker tetap konsisten mengawal visi utamanya, yaitu “mewujudkan Ledokombo menjadi tempat berbagi dan perjumpaan manusia dengan aneka latar belakang dengan berbasis nilai-nilai yang ramah anak, ramah perempuan, ramah budaya lokal dan ramah lingkungan”.
Visi Tanoker tersebut diharapkan menjadi pemandu bagi pegiatnya dalam melaksanakan transformasi perubahan dalam organisasi dan program-programnya. Namun dalam mewujudkan visi itu masih menghadapi banyak tantangan, pertama, transformasi perubahan dengan visi yang telah dicanangkan ini sering mandeg, karena banyak staf belum memaksimalkan upaya inovasinya dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatannya dalam konteks visi tersebut . Umumnya bekerja hanya sekedar menggugurkan kewajiban yang ditugaskan oleh manajemen; Kedua, sebenarnya Tanoker gagal menciptakan koalisi pemandu yang cukup kuat karena hampir sebagian besar staf Tanoker terutama yang memegang posisi penting masih belum memiliki komitmen jangka panjang untuk menghidupkan Tanoker sepenuh hati. Tanoker bagi sebagian pegiatnya hanya menjadi tempat transisi untuk batu loncatan mencari pekerjaan yang lebih baik atau hanya sebagai tempat sebelum bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ketiga, rasa bersama akan masa depan yang didambakan bersama belum berhasil dibangun di organisasi karena beragam saluran komunikasi yang digunakan masih belum efektif. Aneka Arena komunikasi untuk membangun “team building” dan kesamaan visi sering tidak didukung oleh sebagian staf karena memiliki gaya kerja dan relasi yang tidak mau berubah—stagnan di zona nyamannya sendiri; keempat, pelatihan buat meningkatkan kapasitas Sumberdaya manusia di Tanoker belum bisa dilakukan secara khusus sesuai kebutuhan. Ini terjadi karena keterbatasan sumberdaya keuangan. Selama ini dilakukan dengan menunggu tawaran-tawaran pelatihan-pelatihan SDM Tanoker secara gratis, yang difasilitasi jaringan Tanoker. Dilakukan sendiri masih terbatas, training transformasi pengetahuan dari staf senior ke staf yunior/baru atau studi banding ke tempat-tempat yang dianggap sukses; dan Kelima, saling ketergantungan satu devisi dengan deivisi yang lain dan antara unit-unit usaha yang bergerak di tiga ranah kegiatan Tanoker masih belum sinergis dan terintegrasi dengan kuat. Keenam, masih mengalami kesulitan dalam memasukkan nilai-nilai kunci baru ke dalam budaya kerja staf. Sering staf kunci tidak bersedia melaksanakan perubahan-perubahan dengan pendekatan baru dalam menjalankan tugas-tugas organisasi;
Meskipun begitu, visi tanoker masih bisa diwujudkan walaupun belum maksimal, karena pengurus Tanoker tidak terlalu terlena dengan mimpi besarnya—mewujudkan wilayah ramah anak. Namun beberapa kemenangan yang bersifat jangka pendek masih bisa dilaksanakan dengan baik. Pertama, berhasil mendorong deklarasi oleh Bupati Jember menjadi Kabupaten layak anak, bersamaan dengan acara Festival Egrang ke-8 yang dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Kedua, munculnya beberapa kemenangan jangka pendek, seperti menerima beberapa penghargaaan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional dan terlaksananya kegiatan-kegiatan bulanan (pasar lumpur) dan tahunan (Festival Egrang); ketiga, program-program bersama masyarakat seperti sekolah bo-ebok yang menghasilkan penerbitan buku kurikulum pengasuhan gotong royong, kurikulum sekolah yang eyang, kampanye pangan sehat yang didukung oleh semua stakeholder; pendampingan kelompok kuliner dan sekolah enterpreneur; dan keempat, unit usaha untuk kemandirian lembaga bisa dikelola dengan baik, yaitu usaha Tanocraft yang mendorong kewirausahaan—kelompok kerajinan, olahan makanan dan kuliner; Kolam renang Tanoker Raspati; dan Kampung Belajar Tanoker yang bertanggung jawab mengelola aset pengetahuan tanoker, sebagai provider out bound berbasis permainan tradisional, pasar lumpur, event-event, kunjungan belajar para tamu dan pengelolaan homestay; kelima, dikenal sebagai komunitas anak-anak yang melestarikan tarian egrang masih menjadi ikon utama, permainan tradisional egrang masih sebagai branding utama; dan keenam, banyak nya grup-grup tamu ataupun individual yang melakukan aktivitas di komunitas Tanoker, baik untuk studi banding, praktek lapang, KKN, outbound, camping ataupun bakti sosial, penelitian skripsi/tesis/disertasi, pembuatan dokumentasi video/film maupun bakti sosial.
Berdasarkan kekurangan dan kelebihan dalam transformasi perubahan mewujudkan visi Tanoker diatas, pada umur tahun kesepuluh ini mungkin juga harus diakui bahwa Tanoker telah menunjukkan keberhasilannya sebagai organisasi yang mendorong perubahan kepemimpinan munculnya gerakan masyarakat yang peduli pada potensi sumberdaya sosial budaya, ekonomi dan lingkungan di desanya. Sehingga banyak warga di wilayah Kecamatan Ledokombo mulai dari anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak dan eyang-eyang mulai menunjukkan kepemimpinannya dan kepercayaan diri untuk memuliakan sumberdaya desanya. Hanya dengan menguatnya pemimpin di semua kalangan anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, eyang-eyang dan organisasi sendiri maka visi dan strategi Tanoker bisa diwujudkan. Juga penting untuk pegiat Tanoker jangan terjebak sudah merasa puas diri dengan peran organisasi sebagai penggerak perubahan yang dicapai sekarang. Karena menurut Kotter (2014), “perubahan besar hanya akan berhasil jika kepuasan diri rendah”. Sebaiknya kita cukupkan kepuasan diri yang tinggi untuk warga yang kita layani. Selamat berjuang (Lek Hang).