Kalau di suatu tempat terdapat orang-orang jahat yang melakukan tindak kejahatan dan hanya membuat mereka terpisah dari kita semua, maka hancurlah mereka! Tetapi garis yang memisahkan baik dan jahat itu terdapat dalam diri setiap umat manusia. Lalu siapakah yg berniat untuk mengahancirkan kepingan dari hatinya sendiri? (Aleksandr Solzhenitsyn)

Saya tutup buku berjudul “why forgive‎” dalam perjalanan menuju Jember. Perjalanan darat ditempuh hampir lebih dari 6 jam dari Surabaya, sesudah mendarat dengan pesawat pertama dari Jakarta. Keletihan lebih terasa karena dilakukan dalam bulan Ramadhan. Akan tetapi semangat untuk bertemu dengan wanita yang sangat matang dengan pengalaman hidup ini membuat lapar, haus, ngantuk, pegal merupakan hal kecil saja.

Saya akan mempelajari konsep kepompong yang diciptakannya untuk kehidupan mereka. Untuk Mengubah sikap hidup ketakutan menjadi sebuah kepercayaaan diri dibutuhkan wadah bagaikan kepompong yang bisa mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Bersama sang suami, Ciciek merintis pembentukan Tanoker yang dalam bahasa Madura berarti, Kepompong. Ini merupakan komunitas belajar masyarakat  di Simpang Tiga Desa Ledokombo, Kec. Ledokombo, Jember, Jawa Timur. Kegiatan komunitas terutama  berfokus pada pemberdayaan anak melalui kegiatan setelah mereka belajar di sekolah melalui pendekatan budaya. Bersemboyan “Bersahabat, Bergembira, Belajar, Berkarya”,  saat ini sedang dilakukan pendampingan anak-anak terutama setingkat SD dan SMP untuk dapat mengembangkan potensinya. Para siswa/i pada umumnya adalah putra-putri TKW/TKI, buruh tani, tukang ojek, pedagang kecil, guru dan pekerja rumahtangga. Forum-forum dibentuk sesuai keinginan anak-anak sendiri. Saat ini telah ada  7  (tujuh) forum yakni permainan tradisional, membaca-menulis, memasak, olahraga, musik, menari, dan melukis.

FARHA CICIEK, wanita kelahiran  Ambon, 26 Juni ini selalu gembira dikelilingi banyak anak-anak sehingga lulusan Australia National University (ANU),  Pasca Sarjana Jur. Sosiologi UGM, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga tampak awet muda, bahagia dan ikhlas hidupnya. Saat ini beliau berprofesi sebagai peneliti, dosen & aktivis gender, serta menjadi perintis & koordinator komunitas Tanoker. Saya juga berkenalan dengan sang‎ Suami, Soeporaharjo dan putera bungsunya buah hati perkawinan mereka.

Pada saat kami berdiskusi, tampak jelas kecerdasan yang terpancar dari setiap tutur kata terlontar. Tak heran jika beliau pernah meraih‎ Penghargaan Indi Women Awards (April 2014). Bagi Ciciek makna penting dari hasil proses selama dua tahun terakhir keberadaan Tanoker adalah mengubah mind set dan pandangan anak-anak ini yang semula begitu rendah diri karena penghinaan atas wilayah mereka. Kini mereka tampil sebagai anak-anak yang mau dan mampu bermimpi, optimis, dan berpikiran positif. Salah satu metode yang diajarkan Ciciek adalah melalui yel-yel setiap hari , “Bocah Ledokombo Hebat!!!”. Mereka tidak malu lagi tampil di depan orang asing. Termasuk menceritakan mimpi-mimpi mereka seperti menjadi presiden, astronot, dokter, dll. Menjadi buruh migran seperti kedua orang tua tidak lagi masuk dalam daftar mimpi mereka.

Salah satu merubah mind set rendah diri itu adalah melalui Enggrang. Melalui permainan tradisional engrang, Beliau mampu mengasah kreatifitas dan kepercayaan diri anak-anak yg dapat menjadi inspirasi bagi orang dewasa disekitarnya. Ciciek didukung suami dan kedua puteranya mengajarkan keseimbangan mental pada anak-anak. Selain juga manfaat fisik karena merupakan kegiatan olah raga.  Saat ini melalui program ”Enggrang Goes to School” dan ”Festival Enggrang”, anak-anak menjadikannya sebagai ekskul termasuk pengembangan kreatif seperti menjadikannya layaknya permainan barongsai.

Kini, Tanoker Ledokombo menjadi laboratorium belajar tentang kebangkitan anak-anak desa terutama anak para buruh migrant dengan pendekatan budaya. Berbagai perguruan tinggi mengirim dosen dan mahasiswa yang sudah melakukan kunjungan studi ke Tanoker diantaranya UNAIR, UNEJ, STAIN Jember, IAIN Sunan Ampel, Passau Univ. Jerman, IKIP PGRI, dan banyak lainnya. Sejumlah lembaga internasional dan pemerintah juga mengadakan kegiatan di Tanoker Ledokombo. Pilot project yang mereka adakan terutama adalah program desa peduli buruh migran dan keluarganya.

Apa yang dilakukan Ciciek mampu menjadikannyan inspirator bagi Kiblati. Beliau adalah seorang wanita kelahiran 28 Januari yang penerima rantai kepercayaan diri yang diberikan oleh Bu Ciciek. Walau hanya‎ sempat menempuh pendidikan samapai SMP Kelas 2 tidak menghalanginya untuk melanjutkan‎ langkah nyata sang tokoh perubahan di desa mereka. Wanita yang sudah menikah, hidup berbahagia bersama 2 anak mereka‎,Terkesan lugu, mau banyak bicara setelah dibuat nyaman dengan lebih dulu mengenal sisi pribadi dia.

Menikah di usia 16 tahun, Kiblati kemudian diboyong oleh sang suami (akrab dipanggil oleh orang-orang sekitar dengan panggilan Pak Lek Sun) dari desa Sumberbuluh yang berjarak sekitar 4 km menuju ke Ledokombo. Di tempat tinggal yang baru, Kib terdorong untuk menjajal hal baru. Ia pun kerap mendapatkan pelatihan keterampilan dari Ciciek. “Saya sudah dapat ilmunya. Jadi ya… harus dikembangkan,” alasan Kib. Lama kelamaan Kib mulai mendapat pesanan. Kini ia memiliki 4 orang tenaga tetap, 6 tidak tetap, dan jabatan sebagai Ketua Produksi Kerajinan Jahit Tanoker. Masih senangkah ia menjahit baju? “Kalau dompet, senangnya adalah saya nggak kerja sendirian. Jadi lebih banyak manfaatnya karena saya bisa ngajak orang-orang. Walaupun nggak bisa jahit, mereka ‘kan bisa bantu saya ngelem atau motong.”

Bagaimana dengan pengaruh seorang Farha Ciciek dan komunitas Tanoker yang ia dirikan buat Kib? “Dia itu sudah lebih dari sekedar sahabat atau teman. Dia kayak Ibu. Dialah yang membimbing saya dan anak buah. Dia nggak pernah beda-bedain orang kalau menolong. Tanoker juga sangat membantu generasi muda dan kalangan orang tua di Ledokombo. Buat saya, Mbak Ciciek perempuan terhebat di Ledokombo!”

Sahabat SheCAN!

Hari ini kita mendapat pesan moral, melalui permainan tradisional yang sangat sederhana yaitu engrang. Bahwa kepercayaan diri seperti mata pisau yg jika terus diasah maka akan semakin tajam. Agar mampu memutuskan rasa takut untuk melangkah. Dua wanita yang saya temui telah berhasil Mampu membagi rantai kepercayaan diri kepada wanita lain dan masyarakat untuk mengajarkan mengubah rasa malu ketika jatuh menjadi energi yang dahsyat. Sebelum saya pulang, ada bekal cantik sebagai souvenir dari anak-anak Tanoker selain rasa bahagia karena menyanyi dan menari bersama mereka. Tapi ada satu Pepatah yang akan aaya terus ingat

“Amaen genikah tak maen maen. Bermain itu tidak bermain main….”

Dalam bermain itu, ada pembelajaran kehidupan mahal, kalau kita cerdas mengambil hikmahnya…

Mereka berdua telah membuktikan mampu meneruskan dan memberikan ranta‎I kepercayaan diri. Kalau mereka bisa, saya yakin andapun pasti bisa.

If SheCAN!, then YouCAN‎!
Love,

Naz

https://www.facebook.com/notes/shahnaz-haque-penuh/shooting-shecan-season-19-eps-farha-ciciek/10152297427386312

 

SHARE