oleh : Triono Akmad Munib, Gangsar Parikesit, Boby Ibipurwo
dipresentasikan dalam acara “Youth Power, Take Action Build Nation” Univ. Gadjah Mada Yogyakarta, 21-23 Oktober 2011
Globalisasi
Belakangan ini globalisasi menjadi sebuah istilah hangat yang selalu diperbincangkan oleh para penstudi hubungan internasional serta berbagai lapisan masyarakat terutama mereka yang menjadi pelaku dan “korban” globalisasi. Walaupun sering diperbincangkan, seringkali mereka tidak mengetahui secara jelas mengenai makna sebenarnya dari globalisasi. Berbagai usaha dilakukan oleh para ahli dari berbagai macam latar belakang untuk merumuskan jawaban dari pertanyaan, “apa sebenarnya globalisasi itu?”. Bermacam-macam definisi dihasilkan dari sudut pandang keilmuan yang berbeda satu sama lain.
Salah satu definisi yang paling mudah dipahami dan paling sering dipakai untuk menjelaskan apa sebenarnya globalisasi itu adalah definisi globalisasi yang diberikan oleh Jan Art Scholte. Scholte[1] memdefinisikan proses globalisasi menjadi lima proses. Pertama, globalisasi merupakan fenomena internationalization yang diartikan sebagai meningkatnya hubungan lintas batas antar negara. Kedua, globalisasi Scholte maknai sebagai liberalization yaitu penghapusan hambatan baik tarif maupun non-tarif dalam aliran barang dan jasa untuk membentuk suatu perekonomian yang terintegrasi. Ketiga, globalisasi dimaknai sebagai universalization yang berarti menyebarnya berbagai nilai, serta pemikiran manusia sehingga menjadi hak milik secara universal. Konsep keempat untuk mendefinisikan globalisasi identik dengan fenomena westernization, yang diartikan sebagai peniruan berbagai budaya dan system barat yang lazim dianggap sebagai yang terbaik. Konsep terakhir yang berkaitan erat dengan definisi globalisasi menurut scholte adalah konsep deterritorialization yaitu munculnya berbagai entitas suprateritorial di atas negara.
Definisi dari Scholte yang cukup memiliki kaitan dengan bahasan dalam karya tulis ini adalah konsep universalization dan westernization. Kedua konsep ini berpandangan bahwa suatu nilai, norma serta kebudayaan dari negara-negara maju yang didominasi Eropa serta Amerika Utara atau lebih sering kita sebut sebagai barat, adalah lebih baik daripada budaya, nilai serta norma yang dimiliki bangsa timur. Bukan menjadi rahasia bahwa Barat membentuk sebuah persepsi bersama di dunia internasional bahwa sesuatu yang mereka hasilkan akan lebih baik daripada yang dihasilkan dari bangsa-bangsa timur. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab tergerusnya berbagai nilai, norma serta hasil kebudayaan bangsa timur yang kemudian tidak laku dijual di mata bangsanya sendiri.
Semakin berkembangnya teknologi informasi (TI) serta dinamika komunikasi yang semakin modern telah membuat berbagai nilai serta norma sosial di suatu masyarakat menjadi suatu hal yang universal dan dimiliki bersama. Tetapi, kenyataannya norma serta nilai tersebut merupakan sesuatu yang dikuasai oleh negara-negara dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tinggi. Sehingga mayoritas nilai serta norma yang tersebar secara global adalah hasil dari kebudayaan negara-negara maju (barat).
Permainan Modern Produk Globalisasi
Di abad ke-21 sekarang ini kita hampir tidak bisa mengindari pengaruh globalisasi dan modernisasi, bahkan entitas negara pun sulit membendung derasnya arus globalisasi. Mau tidak mau, suka tidak suka, terpaksa atau pun secara sukarela manusia dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Era globalisasi dan modernisasi menuntut kita untuk bertindak cepat, mudah, efektif, hingga instan. Globalisasi mendidik kita untuk mencapai tujuan (hasil) sesempurna mungkin, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Oleh sebab itu manusia modern cenderung individualistik.
Pengaruh globalisasi ini sudah menjalari manusia modern sejak usia balita mulai hingga dewasa mulai dari hal terkecil seperti mainan anak-anak sampai hal yang terbesar seperti perubahan gaya hidup (life style). Dalam hal ini, usia anak-anak adalah usia bermain, istilahnya tiada hari tanpa bermain bagi anak-anak. Berbeda dengan 10 atau 15 tahun yang lalu, Jjika dahulu anak-anak bermain hanya dengan bermodal batu, tongkat, dan karet gelang, namun dewasa ini anak-anak sudah dihadapkan dengan hal-hal yang berbau digital, modern dan canggih.
Di era yang serba modern saat ini hampir tidak ada mainan yang gratis. Ingin mobil-mobilan, boneka-bonekaan, game online, PS, game watch, X-Box dan lain sebagainya semuanya harus membeli. Anak-anak di dunia ini telah menjadi korban dari globalisasi permainan modern. Globalisasi selalu dikaitkan dengan modernsiasi, tidak kuno, tidak ketinggalan jaman, dsb. Sehingga implementasinya, anak akan dicap ‘ndeso’ atau ‘katrok’ jika tidak mencoba atau mengganti permainan-permainan tradisionalnya dengan mainan produk globalisasi tersebut.
Masyarakat dunia saat ini telah menjadi one global village. Artinya, bahwa masyarakat di dunia hidup dalam satu planet, satu pola hidup, dan satu selera. Globalisasi telah membuat masyarakat bisa menikmati apapun di dunia ini tanpa harus pergi ke negara pembuatnya. Apalagi, semakin gencarnya negara-negara mempromosikan free trade atau perdagangan bebas yang berdampak cukup besar terhadap arus barang yang masuk ke Indonesia. Misalnya, kita saat ini bisa menikmati KFC tanpa harus ke AS, menggunakan handphone Samsung, LG tanpa harus ke Korea Selatan, memakai produk laptop Acer tanpa harus ke Taiwan, dan sebagainya. Hal ini pun juga terjadi pada bidang permainan anak-anak. Baik di kota maupun di desa saat ini semakin menjamur bisnis rental PS, warnet dan game online.
Permainan modern produk globalisasi tersebut membawa dampak yang cukup signifikan bagi anak-anak dewasa ini. Sub bab berikutnya akan dibahas mengenai dampak permainan modern bagi anak-anak.
Dampak Permainan Modern Bagi Anak
Berbeda jauh dengan permainan anak-anak zaman dahulu yang sarat dengan nilai kejujuran, kebersamaan, kekompakan, kerjasama, keuletan dan olah fisik. Permainan modern saat ini membuat anak-anak mengalami kekurangan komunikasi dengan teman sebayanya atau lebih condong ke sifat individualistik. Mereka memainkan permainan tersebut sendirian tanpa teman.
Bersosialisasi tentunya perlu dalam proses perkembangan anak. Faktanya memang, permainan modern bisa dinikmati sendiri, sehingga anak kurang bersosialisasi dan melakukan komunikasi dengan orang-orang disekitarnya. Hal ini dapat memberikan dampak negatif pada perkembangan anak.
Suatu contoh, akses online game melalui internet sudah mewabah di setiap daerah di Indonesia tak mengenal di desa maupun di kota, apalagi sekarang ini banyak sekali teknologi-teknologi yang memberikan kemudahan akses internet, seperti maraknya modem USB. Hal ini membuat anak-anak remaja, mulai bangku sekolah dasar, menengah pertama sampai mahasiswa, betah duduk berjam-jam bermain online game baik pagi, sore, maupun malam hari. Di kota-kota metropolitan saat ini, sering kita jumpai warung internet (warnet) yang memberikan pelayanan 24 jam.
Melalui media internet, mereka dapat mengakses online game untuk mencari lawan tanding dengan reward tertentu (poin diperjualbelikan) atau chatting dengan temannya di dunia maya tanpa dapat kita ketahui bagaimana perilaku dan sifat temannya. Tidak ada sebuah proses komunikasi dan sosialiasi secara langsung atau face to face dalam hal ini. Sebagian anak-anak dan remaja sampai kecanduan dan berakibat negatif kepada kehidupan sosial dan pelajarannya di sekolah, karena mereka tidak bisa menahan diri untuk bermain dan sebagian besar waktunya digunakan di warnet untuk bermain online game.
Beberapa dampak buruk yang berbahaya bagi anak-anak dan remaja yang kecanduan game online, diantaranya :
1. Pemborosan, karena harus membayar sewa online game maupun rental PS.
2. Anak menjadi malas belajar, karena pikirannya terfokus pada game.
3. Merusah kesehatan mata, karena terlalu lama di depan monitor komputer/televisi.
4. Anak menjadi individualistik.
5. Terjadi perkelahian antar pemain jika bersaing dan akumulasi emosi negatif apabila kalah didalam bermain, bahkan sampai terjadi pembunuhan seperti apa yang terjadi di Perancis pada November 2009 silam.
Julien Barreaux, 20, told police he wanted to see his rival player “wiped out” after his character in the game Counter-Strike died in a virtual knife fight.[2]
Atau seperti yang terjadi di Bandung tahun 2005, seorang mahasiswa Universitas Maranatha tewas ditikam temannya sendiri akibat kalah bermain PS.
Krisna Cahyadi (19), mahasiswa ekonomi angkatan 2004 Universitas Maranatha, ditemukan sudah menjadi mayat di tempat kosnya, di lantai 3 kamar C-20 Tulip Home Jln. Babakanjeruk IV No. 30 Kota Bandung, Kamis (1/12) sekira pukul 13.30 WIB. Dalam pemeriksaan awal, tersangka mengaku menghabisi nyawa korban karena kalah judi bola dan bermain Play Station dengan korban.[3]
Terpengaruh dengan kekerasan dalam game. Seperti perisitiwa yang terjadi di Wellington Amerika Serikat, seorang anak tega membunuh ibu kandungnya setelah bermain Halo 3
Daniel Petric, the Wellington teenager who claimed to be addicted to video games, was sentenced to at least 23 years in prison Tuesday for killing his mother and shooting his father after they forbade him from playing the game Halo 3.[4]
Beberapa kasus kriminal akibat permainan PS maupun online game di atas membawa kita pada sebuah kesimpulan bahwa dampak permainan modern sangat menakutkan. Permainan modern bisa mengubah mental, moral, bahkan kejiwaan anak-anak. Harus ada sebuah pewaspadaan terhadap pemilihan permainan anak-anak. Dan pastinya kita semua tidak ingin anak-anak Indonesia mengalami hal-hal seperti di atas.
Pelestarian permainan tradisional dalam hal ini, dipandang sebagai sebuah upaya counter globalisasi permainan modern. Sebuah permainan akan sangat besar pengaruhnya terhadap pembinaan budaya anak-anak dalam masyarakat. Artinya bahwa anak-anak lebih bisa menerima dengan cepat suatu pengetahuan melalui permainan. Sebab dalam permainan anak terkandung nilai-nilai pendidikan yang tidak secara langsung terlihat nyata, tetapi terlindung dalam sebuah simbol. Nilai-nilai tersebut memiliki banyak dimensi , antara lain rasa kebersamaan, kejujuran, kedisiplinan, sopan-santun dan aspek-aspek kepribadian yang lain atau bahkan mengandung nilai kekerasan.
PERAN KOMUNITAS TANOKER LEDOKOMBO KABUPATEN JEMBER DALAM MELESTARIKAN PERMAINAN TRADISIONAL(Peluang, Tantangan, dan Strategi)
Sekilas Kecamatan Ledokombo Kab. Jember
Kecamatan Ledokombo merupakan salah satu dari sekian Kecamatam di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Kecamatan ini berpenduduk sekitar 56.000 jiwa.[5] Mata pencaharian masyarakatnya pada umumnya buruh tani. Sisanya berjuang di sektor informal (pedagang kecil) disamping menjadi buruh perusahaan, pegawai negeri/swasta. Dalam dua dasa warsa terakhir semakin banyak penduduk pergi untuk mencari nafkah keluar Ledokombo, baik didalam negeri (terbanyak ke Bali) maupun keluar negeri (TKI/TKW) ke Timur Tengah, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Hongkong. Kabupaten Jember adalah salah satu sending area para migrant workers di Jatim (Jatim dan NTB merupakan dua daerah sending area TKW/TKI papan atas di Indonesia).[6]
Di Ledokombo, banyak masalah sosial yang muncul. Hal ini merupakan dampak sosial dari banyaknya orang tua yang mencari kerja diluar Ledokombo. Beberapa seperti anak-putus sekolah, pengangguran (terutama kaum muda), kekerasan terhadap anak, dampak migrasi (dalam dan luar negeri) seperti eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja, berbagai penyakit sosial dari luar Ledokombo seperti kecanduan narkoba.[7] Akhir-akhir ini juga ditemukan kasus HIV/AIDS (bahkan telah menginfeksi anak-anak). Hal-hal seperti di atas dapat mengakibatkan lost generation.
Selain itu, Ledokombo merupakan salah satu wilayah yang terkena dampak dari globalisasi permainan modern. Hal Ini tampak dengan semakin menjamurnya bisnis warnet dan rental PS di sana.[8] Hal ini membuat khawatir orang tua anak-anak Ledokombo. Anak-anak suka sering keluar tanpa pamit ke rental PS dan juga sering lupa waktu belajar dan mengaji.[9] Pulang sekolah anak-anak langsung menyerbu rental PS maupun warnet game online.[10] Yang cukup menyedihkan, kebanyakan orang tua mereka bekerja menjadi TKI atau TKW sehingga pengawasan kepada anak sangat kurang.
Peluang, Tantangan, dan Strategi
Sebuah tempat dimana pertemuan berbagai kalangan dari berbagai latar belakang (golongan, ras, etnis, bangsa dan kelompok budaya) dikelola untuk mempertahankan nilai-nilai budaya luhur saling menguatkan demi menciptakan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan khususnya untuk anak-anak, generasi penerus bangsa, harapan dunia, dimanapun mereka berada. “Bersahabat, bergembira, belajar, berkarya”.[11]
Komunitas Tanoker (kepompong dalam bahasa Madura) resmi dibentuk pada tanggal 10 Desember 2009. Dengan semboyan “bersahabat, bergembira, belajar, berkarya”, Tanoker saat ini tumbuh dan terus berkembang menjadi tempat belajar permainan tradisional egrang
Awalnya Tanoker dibentuk sebagai sebuah bentuk keprihatinan terhadap anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tuanya yang bekerja di luar Ledokombo bahkan ke luar negeri untuk menjadi TKW atau TKI. Ternyata dari ide luhur tersebut ditambah dengan tanggapan positif serta dukungan masyarakat Ledokombo, Tanoker berubah menjadi sebuah komunitas dengan efek yang lebih luas lagi. Tanoker berkembang menjadi sebuah media filter globalisasi permainan modern. Di sisi lain Tanoker juga menjadi salah satu alternatif tempat bermain anak-anak. Globalisasi memang sulit untuk dibendung, namun setidaknya bisa disaring untuk diambil nilai-nilai positifnya.
Berkaitan dengan globalisasi, pendiri komunitas Tanoker tidak pernah berpikir bahwa globalisasi merupakan suatu hal yang selalu negatif. Dalam pandangannya budaya barat dan modern yang dibawa globalisasi dapat menjadi sebuah peluang untuk memperkaya budaya lokal, sinkretisme antara budaya lokal dan global lebih tepatnya. Komunitas ini (Tanoker) berupaya untuk mengambil sisi positif dari globalisasi itu sendiri untuk memperkaya kreativitas permainan tradisional egrang. Misalnya, dengan memadukan gerakan-gerakan modern dance ke dalam egrang, memasukkan aliran musik hip-hop, R n B ke dalam unsur alat-alat musik tradisional.
Globalisasi dinilai bukan merupakan sebuah universalisme atau westernisasi, namun globalisasi dapat mengenalkan hal-hal baru. Di mana, dahulu sebelum ada globalisasi batas-batas negara sangat rigid dan perkembangan IPTEK belum mampu menjangkaunya. Namun dengan adanya globalisasi ini diharapkan akan tumbuh multikulturalisme. Di mana melalui globalisasi ini banyak juga warga asing yang tertarik untuk belajar egrang. Di sisi lain anak-anak dalam komunitas Tanoker juga diajari bahasa asing, dikenalkan kebudayaannya sehingga tak jarang gerakan-gerakan dalam permainan egrang mereka juga dipadukan dengan gerakan-gerakan modern dance.[12]
Selain itu, dengan adanya globalisasi yang berdampak pada pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) turut memberikan peluang bagi Komunitas Tanoker untuk berkembang. Kemajuan teknologi informasi menjadi peluang Komunitas Tanoker untuk memperkenalkan permainan tradisional egrang Ledokombo pada dunia, baik secara nasional ataupun internasional. Tersedianya fasilitas internet menjadi pemicu hal tersebut. Di Youtube dengan mudah kita dapat men-download video anak-anak Tanoker sedang bermain egrang, selain itu komunitas ini juga memiliki official website yaitu, www. tanoker.org dan akun facebook, yaitu Tanoker Ledokombo
Dengan adanya website ini, Komunitas Tanoker mempunyai akses yang lebih besar untuk melestarikan budaya luhur dengan memberikan informasi kepada masyarakat dalam negeri maupun luar negeri akan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan egrang tersebut. Hasilnya pun cukup berhasil dengan mendatangkan wisatawan asing untuk belajar egrang.[13] (baca Tempo edisi Sabtu 23 Juli 2011)
Komunitas Tanoker berupaya untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan melalui permainan tradisional egrang. Hal yang menjadi tantangan di sini adalah ketertarikan anak-anak kepada PS maupun game online lebih besar karena dari segi audio maupun visual mereka memang lebih bagus dan menarik daripada sebuah egrang yang hanya terbuat dari bambu.
Ini semua bukan hanya perkara permainan yang secara tampilan menarik atau tidak. Ketika kita mampu mengemas permainan-permainan tradisional ini dengan menarik, niscaya anak-anak kecil masih meminatinya. Tidaklah erlalu khawatir dengan permainan tradisional yang akan hilang ditelan kemajuan zaman dan teknologi. Egrang masih bisa survive.[14]
Accsesable merupakan keunggulan permainan tradisional egrang ini dibandingkan dengan permainan modern. Selain itu permainan tradisional yang dikemas menarik melalui berbagai macam perlombaan sangat bermanfaat bagi perkembangan psikologis anak.
Komunitas ini cukup memberikan dampak bagi anak-anak di sana, dari yang sebelumnya suka bermain PS atau game online. Semenjak ada komunitas ini anak-anak menjadi tertarik bermain egrang.
Dahulu anak-anak sering bermain PS sepulang sekolah, mengaji. Orang tua kesulitan mencari anaknya, saat mereka pulang sekolah tapi tak kunjung sampai rumah. Sekitar 30% anak di sini sudah mulai berkurang pergi ke rental PS. Dan jika orang tua melihat anaknya tidak rumah, mereka langsung menuju markas Tanoker dan anak-anak pasti di sana bermain egrang.[15]
Permainan egrang ini memiliki nilai filosofis yang positif. Seperti yang tertuang pada bait lagu di bawah ini.
Versi bahasa Madura :
Ker-tanoker lagguna nyapa kaadha’
Ker-tanoker lagguna nyapa e songay
Ker-tanoker lagguna nyapa e lorong
Ker-tanoker lagguna nyapa e langgar
Versi bahasa Indonesia :
Bila tak bertegur sapa, besok menyapa duluan
Boleh bertengkar besok menyapa di sendang
Boleh bertengkar besok menyapa di jalan
Boleh bertengkar besok menyapa di langgar
Bait-bait sederhana yang terdapat pada syair “ker-tanoker” mengajak setiap pribadi untuk menunjukkan kematangan pribadi, baik kematangan psikis maupun fisik. Dengan memiliki kematangan kepribadian, maka perbedaan pendapat, perbedaan persepsi, perbedaan keinginan, karakter maupun watak bukan berarti membuka lebar jalan pertentangan atau pertikaian, malah sebaliknya akan membuka pintu kerukunan dan perdamaian. Sebagaimana dikatakan bahwa perbedaan itu adalah suatu rahmat. Nilai etika dan moralitas tinggi inilah yang mesti dijadikan bahan renungan panjang setiap pribadi untuk membangun masyarakat komunal yang rukun, guyub dan ber-keadilan.
Di dalam Tanoker mendidik anak-anak untuk saling bekerja sama, saling menghargai, menjaga kebersihan lingkungan dan menerapkan asas-asas demokrasi.[16]
Dari penjelasan di atas, menujukkan kepada kita bahwa seyogyanya globalisasi bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi dengan menyaring nilai-nilai positifnya. Di sinilah dibutuhkan peran kita semua, khususnya para pemuda untuk melihat globalisasi secara bijaksana.
Tanoker merupakan sebuah usaha daripada anak-anak, pemuda, dan remaja di Kecamatan Ledokombo Kabupaten Jember untuk memberikan alternatif permainan anak-anak dengan mencoba menghidupkan kembali permainan tradisional egrang yang sarat nilai filosofis kehidupan didalamnya.
TAKE ACTION, BUILD NATION!
Referensi :
[1]Jan Aart Scholte dalam buku John Baylis dan Steve Smith (eds. 2001), Globalization of World Politics Edisi Kedua, Oxford : Oxford University Press.
[2]http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/france/7771505/Video-game-fanatic-hunts-own-and-stabs-rival-player-who-killed-character-online.html [diakses pada 28 September 2011]
[3]http://m.detik.com/read/2005/12/02/074118/490688/131/mahasiswa-maranatha-tewas-dibunuh [diakses pada 28 September 2011]
[4]http://www.cleveland.com/news/plaindealer/index.ssf?/base/news/1245227634164350.xml&coll [diakes pada 28 September 2011]
[5]Hasil Sensus Penduduk 2010, Data Agregat Per Kecamatan Kabupaten Jember
[6]http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewcat&cid=5&min=15[diakses pada 02 Oktober 2011]
[7]Hasil Sensus Penduduk 2010, Op. Cit
[8]Hasil observasi penulis di sekitar Kecamatan Ledokombo, tanggal 01 Oktober 2011
[9]Hasil wawancara penulis dengan orang tua anak-anak di sekitar Kecamatan Ledokombo, tanggal 01 Oktober 2011
[10]Op. Cit
[11]Farha Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker Ledokombo
[12]Hasil wawancara dengan Ibu Farha Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker Ledokombo, tanggal 01 Oktober 2011
[13]http://www.tempo.co/hg/perjalanan/2011/07/23/brk,20110723-347982,id.html [diakses pada 02 Oktober 2011]
[14]Op. Cit
[15]Hasil wawancara dengan Ibu Farha Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker, tanggal 01 Oktober 201
[16]Op. Cit