Oleh : Dr. Ir. Suporahardjo
Sebelum diterbitkannnya UU Desa No. 6 tahun 2014, pada umumnya desa menjadi obyek pembangunan. Menjadi wilayah Fragmentasi/tumpang tindih kegiatan, Fragmentasi kelembagaan, Fragmentasi perencanaan, Fragmentasi keuangan, Tumpang tindih kelompok sasaran, kelas menengah & kelas atas desa lebih memiliki akses terhadap kegiatan pembangunan. Setelah ditetapkan Undang –Undang Desa yang baru ini, kondisi tersebut diharapkan mengalami perubahan, desa menjadi subyek pembangunan. Menjadi tempat Konsolidasi program/kegiatan di desa, konsolidasi dan penguatan kelembagaan desa, kesatuan perencanaan dan keuangan desa (one village, one plan,one budget), distribusi kelompok sasaran yang lebih adil, penguatan mekanisme representasi dan akuntabilitas di tingkat lokal (Zakaria, 2014).
Namun nampaknya belum banyak desa mengalami perubahan tersebut. sangat tergantung kepada kepeminpinan sang Kepala Desanya. Sangat ditentukan oleh bagaimana kepala desa membangun demokrasi di desanya. Belum banyak desa menjadi subyek pembangunan di desanya seperti Desa Panggungharjo, Kec. Sewon, Kab. Bantul, yang menjadi juara desa terbaik di tingkat nasional dan memiiliki APBDesa hampir mencapai 2 milyar setahun, juga membangun transparansi anggaran dengan menggandeng BPKP (Badan pengawas keuangan dan pembangunan) bukan hanya pasang spanduk anggaran desa, membangun standar Sumberdaya aparaturnya, dan mendorong partisipasi warganya serta menetapkan standar cara merespon aspirasi warganya. Desa Panggungharjo dengan kepemimpinan kepala desa yang terus belajar telah membuktikan bisa memakmurkan desanya dan membangun sumber pendapatan desa lebih besar dari anggaran rutin yang diberikan oleh negara. Ternyata desa bisa secara mandiri menyediakan kartu pintar asuransi pendidikan—satu keluarga miskin satu sarjana, kartu sehat (KIA) memfasilitasi pelayanan kesehatan keluarga miskin yang hamil, dan kartu sehat—seperti asuransi kesehatan buat keluarga miskin—bukan jamkesnas. Membangun usaha produktif pengelolaan sampah desa, minyak jelanta, usaha sampah, minyak nyamplung, juga menyediakan swalayan desa dan usaha desa.com untuk memfasilitasi pemasaran produk-produk dari desanya.
Sesungguhnya arena yang luas dan dana tahunan yang cukup besar agar desa menjadi subyek pembangunan telah difasilitasi oleh negara, namun masih banyak desa mengalami defisit inovasi dan defisit demokrasi, terutama terkait dengan akuntabilitas dan memberi ruang partisipasi dalam menentukan kebijakan pembangunan di desanya. Pada tahun 1932 dalam Daulat Ra’jat edisi Januari Bung Hatta pernah memuji bahwa demokrasi asli itu hanya ada di pemerintahan desa jauh sebelum dijajah oleh bangsa asing, dan demokrasi desa juga dirusak oleh raja-raja dengan sistem feodalisme dan autokrasinya. Bung Hatta mengingatkan tentang pentingnya “kita harus melanjutkan ‘demokrasi asli’ menjadi kedaulatan rakyat, supaya terdapat peraturan rakyat untuk Indonesia pada umumnya. Pendek kata: daulat Tuanku mesti diganti dengan Daulat Rakyat! Tidak lagi seorang bangsawan, bukan pula seorang tuanku, melainkan rakyat yang menjadi rajanya sendiri”. Ada tiga hal menurut Bung Hatta dasar demokrasi asli Indonesia yang harus ditegakkan yaitu pertama, cita-cita rapat (musyawarah) yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia dari zaman dahulu sampai sekarang; kedua, cita-cita massa-protest, yaitu hak rakyat untuk membantah dengan cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil; dan ketiga, cita-cita tolong menolong. Jadi kedaulatan rakyat dan demokrasi bagi rakyat Indonesia sebetulnya bukan barang impor kata Bung Hatta.
Dalam kelembagaan pemerintahan desa, musyawarah desa (Musdes) masih menjadi forum penting dalam menentukan hal-hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa (pasal 54 UU No 6 tahun 2014). Yang perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana unsur-unsur penting masyarakat desa diikusertakan dalam musyawarah desa tersebut. Dalam prakteknya di banyak desa Musdes hanya bersifat formalitas dan keterwakilan unsur masyarakat sering sekedar pelengkap, sehingga banyak kebijakan desa yang strategis dilaksanakan sesuai selera kepala desa dan sekretaris desa serta aparatnya. BPD juga sering hanya menjadi “tukang stempel”. Partisipasi unsur-unsur masyarakat desa dalam musdes jika dilhat dari model tangga partisipasi Astein (1967) mungkin masih ditempatkan pada tingkat non-participation—manipulasi dan terapi. Jadi kedaulatan rakyat yang dicita-citakan Bung Hatta masih jauh dari harapan dalam menentukan hal-hal yang strategis dalam pembangunan desa.
Arstein (1967) menemukenali beberapa tingkatan partisipasi berdasarkan tingkatan kewenangan yang diberikan kepada partisipan yang meliputi: (1) manipulasi; (2) terapi; (3) informasi; (3) konsultasi; (4) placation; (5)kemitraan (partnership); (6) Pendelegasian kewenangan dan (7) kontrol masyarakat. Pada dua tangga terbawah yaitu manipulasi dan terapi, yang disebut juga level non participation, inisiatif pembangunan tidak bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tapi membuat pemegang kekuasaan untuk ’menyembuhkan’ atau ’mendidik’ masyarakat. Dua tangga diatasnya adalah informasi dan konsultasi yang disebut juga sebagai tokenism dimana masyarakat bisa mendapatkan informasi dan menyuarakan pendapat tapi tidak ada jaminan kalau pendapat mereka akan diakomodasi. Tangga selanjutnya adalah placation yang merupakan level tertinggi tokenism dimana masyarakat bisa memberikan saran kepada pemegang kekuasaan, tapi kewenangan menentukan tetap ada pada pemegang kekuasaan. Tangga diatasnya adalah kemitraan yang membuat masyarakat dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Dua tangga teratas adalah pendelegasian kewenangan dan kontrol masyarakat dimana masyarakat memegang mayoritas pengambilan keputusan dan kekuasaan pengelolaan. Arstein telah memberi gambaran jelas pada kita mengenai tingkatan kewenangan yang bisa didistribusikan ke masyarakat dalam proses partisipasi. Inilah tantangan buat para kepala desa bagaimana agar dapat mendistribusikan kekuasaannya sampai pada tingkatan partisipasi tertinggi tersebut kepada unsur-unsur masyarakat dalam menentukan kebijakan strategis di wilayahnya. Pemerintahan Desa terutama BPD memiliki tanggung jawab melalui regulasi, cara memfasilitasi dan memberi insentif agar unsur-unsur masyarakat yang ikut serta dalam Musdes betul-betul merupakan representatif masyarakat desa.
Mendorong partisipasi rakyat dalam pembangunan desa memang tidak mudah, partisipasi adalah sebuah proses bertingkat dari pendistribusian kekuasaan pada masyarakat sehingga mereka bisa mendapat kontrol lebih besar pada hidup mereka sendiri. Oleh karena itu, proses ini akan membutuhkan waktu yang lama dan komitmen jangka panjang dari berbagai pihak yang berkepentingan untuk mendukung proses tersebut. Partisipasi juga akan terjadi jika unsur-unsur masyarakat menyadari dirinya sebagai bagian masyarakat politik—menyadari hak-haknya sebagai warga desa dan mengontrol pelayanan negara—dan menyadari strategi komunikasi seperti apa yang harus dilakukan. Jika ini terjadi dan masyarakat desa didorong menjadi masyarakat politik dan tidak dibiarkan menjadi massa mengambang maka partisipasi masyarakat desa dalam menentukan dan mendukung kebijakan strategis pembangunan desa dalam forum Musdes dapat lebih demokratis dan adil sehingga Kedaulatan rakyat desa bisa ditegakkan.ac