Foto-foto dokumentasi sekolah eyang: Para anggota sekolah eyang saat berada di pasar lumpur komunitas tanoker

Belajar Cara Mengasuh Cucu, Mengganti Peran Ibu

Eyang memiliki kasih sayang besar dalam mendidik cucunya. Sayangnya, bila tidak memiliki pengetahuan cara mengasuh anak, bisa berdampak buruk. Sekolah yang-eyang ini menjadi wadah belajar bersama mengasuh anak.

Alat permainan tradisional egrang mudah ditemukan di komunitas tanoker. Disanalah, aktivitas belajar dan bermain anak-anak Kecamatan Ledokombo. Bahkan tempat ini juga menjadi wadah belajar para bapak, ibu hingga eyang.

Suasananya yang teduh dan damai menjadi pilihan banyak orang melakukan kegiatan. Mulai dari workshop, pelatihan hingga belajar permainan tradisional. Tak terkecuali para siswa sekolah yang-eyang yang sudah memasuki usia senja.

Sekolah yang-eyang ini hadir atas semangat bersama untuk menjadi lansia yang berkualitas dan menciptakan generasi emas. Bila sebelumnya di Ledokombo sudah ada mother School dan father school. Sekarang bertambah lagi grandmother school atau sekolah yang-eyang ‘segar’, kepanjangan dari sehat bugar.

Sekolah ini merupakan kerjasama antara Karang Werda Bungur Desa Sumber Lesung Kecamatan Ledokombo dengan Komunitas Tanoker. Mereka bersama-sama membangun wadah positif untuk kepengasuhan anak, seperti memenuhi hak-hak anak .

“Awalnya Karangwerda Bungur ini berdiri tahun 2007,” kata Juhariyah, kepala sekolah yang-eyang. Karangwerda Bungur didirikan oleh Enik Supiyah bersama suaminya, alm. Wisnu. Organisasi lansia itu menjadi wadah lansia agar produktif dan berkreasi di masa tua. Mereka yang tetap aktif berolahraga, belajar hingga mengaji bersama.

Kekompakan itu melahirkan kelompok pengajian khoirun nisa yang dipimpin oleh Mukaryati untuk meningkatkan kualitas spiritual. Kemudian, berkembang hingga muncul sekolah eyang. Wadah bagi para nenek untuk untuk belajar banyak hal, terutama kepengasuhan anak.

Lansia sehat dan produktif, salah satu kegiatan sekolah eyang adalah olahraga senam

“Kami ini generasi kuno, sedangkan cucu kami sudah generasi milenial,” ucapnya. Menurut Juhariyah, beberapa orang tua di Ledokombo ada yang menjadi buruh migran. Mereka meninggalkan anaknya untuk bekerja, sehingga peran mengasuh anak dilakukan oleh nenek.

Tak hanya itu, orang tua juga ada yang bekarir sebagai pedagang dan PNS. Lalu tugas mengasuh anak diberikan pada eyang. Mereka tidak menggunakan pembantu rumah tangga karena lebih aman dan hemat. “Mulai dari mengantar hingga anak pulang sekolah dilakukan eyangnya,” aku nenek dari dua cucu tersebut.

Untuk itu, para eyang itu diberi bekal cara mengasuh, mendidik hingga memenuhi hak anak. Mulai dari hak untuk bermain, mendapatkan pendidikan, perlindungan, makanan yang sehat, hak disayangi dan lainnya. “Misal bekal ramah menggunakan gawai, memberi makanan sehat dan lainnya,” terangnya.

Kegiatan pendidikan di sekolah eyang dilakukan sebulan dua kali, yakni pada minggu pertama dan keempat. Setelah itu, dipraktekkan di rumah masing-masing kepada cucunya. Bahkan, mereka juga saling mengingatkan cucu tetangga bila berbuat tidak baik.

Ketika dalam forum sekolah eyang, mereka saling memberikan informasi tentang perkembangan anak. Bila ada yang kurang baik, maka menjadi bahan diskusi untuk diselesaikan secara bersama.

Belajar memasak masakan sehat buat cucu

Sekolah eyang itu, bukan hanya untuk menyelamatkan anak-anak dari lingkungan yang tidak baik. Namun juga untuk mewujudkan lansia atau para eyang yang berkualitas. “Materi yang dibahas bersasal dari persoalan yang dialami eyang,” ujarnya.

Misal, salah satu dari mereka menemukan anak yang berperilaku kurang baik. Mereka menyampaikannya dalam sekolah dan tidak boleh marah bila ditegur. Mereka saling koreksi untuk menciptakan anak yang baik.

Bahkan mereka sudah menyusun kurikulum sendiri. Seperti dampak buruk gawai pada anak dan cara menggunakannya. Mengenal jenis obat terlarang dan memabukkan serta cara mengetahui anak yang terkena pengaruh obat tersebut.

Kemudian, ilmu tentang seks yang menyimpang dan cara agar anak tidak menjadi korban. Selain itu, ilmu tentang hidup sehat dan terhindar dari radikalisme. Bahkan juga cara membuat jamu sehat dan mengenali kesehatan anak serta dampak makanan yang tidak sehat. Semua itu dipelajari di sekoah eyang untuk diterapkan.

“Sekarang ada 48 anggota yang aktif, mulai dari pra lansia dan lansia,” ungkapnya. Mereka sudah berumur 55 tahun ke atas hingga 80 tahun. Namun ada juga yang ikut berpartisipasi, yakni perempuan yang masih berumur 40 tahun.

Diakuinya, tantangan anak sekarang cukup berat. Selalin pergaulan bebas, obat obatan terlarang hingga makanan yang kurang sehat. Bahkan orang tua juga tidak tau makanan yang baik untuk anaknya. Di sekolah eyang, mereka belajar tentang pencegahannya, seperti belajar membuat makanan sehat tanpa pengawet.

“Makanan yang akan dikonsumsi oleh cucunya kalau tidak sehat, dilarang oleh eyangnya,” terangnya menyampaikan dampak positif sekolah ini. Pembekalan dan pendampingan untuk anak dirasakan oleh para eyang. Bahkan, para eyang juga merasa bahagia karena sering berkumpul dengan teman-temannya.

Apresiasi kegiatan sekolah eyang dimuat di harian jawa pos radar jember

Mereka juga membiarkan para cucunya bermain di komunitas tanoker. Disana mereka belajar menari, mendongeng, bermain egrang dan lainnya. Sebab, mereka memiliki hak untuk bahagia melalui permainan. Hak para anak itu dipenuhi melalui colaborative parenting.

Bila sekolah eyang membutuhkan narasumber yang kompeten, dia bekerjasama dengan komunitas tanoker untuk mendatangkan pakar. “Sekolah ini bukan hanya untuk anak cucu, tapi juga bagi para eyang agar menjadi lansia produktif dan berkualitas,” paparnya.

“Kondisi disini, anak-anak yang ditinggal orang tuanya banyak yang dititipkan pada nenek atau tetangga,” tambah Farha Ciciek, pendiri komunitas tanoker sekaligus wakil kepala dua sekolah eyang. Komunitas Tanoker mendampingi 249 anak per Agustus 2018. 52 anak diantara ditinggal sang ibu sebagai buruh migran.

Menurut dia, para eyang itu memiliki kekuatan yang hebat, tidak ada yang berani melawannya. Potensi yang dimiliki mereka sangat besar, namun dalam mendidik cucu belum tepat. “Mereka memanjakan cucu, memberi makanan tidak sehat dan membelikan gawai,” paparnya.

Para anggota sekolah eyang selalu kompak

Padahal, Memanjakan anak akan menjadikan mereka sebagai generasi yang tidak tangguh dan sakit. Misal diberi makanan dan minuman makanan instant yagn berpotensi menjadi penyakit. Akhirnya mereka belajar tentang pangan sehat untuk memenuhi hak anak tumbuh sehat.

Peningkatan pemahaman tentang pendidikan keluarga, pola pengasuhan positif serta mendidik anak-anak di era digital diberikan pada eyang. Mereka dilatih untuk menciptakan generasi emas yang berkualitas. Memberikan hak para cucunya dan membentengi mereka dari hal negatif.

Sumber: http://www.masjiwo.com

SHARE