Kuliah Guardian Angel memang selalu menarik. Selain karena materinya yang lengkap dan applicable, para narasumber yang keren dan inspiratif, agenda study visit yang ada di dalamnya juga semakin membuat extension program yang diselenggarakan Lembaga Next Edu ini menjadi lebih seru. Di angkatan yang ke sepuluh tahun ini, GA (baca : Guardian Angel) melakukan study visit ke sebuah komunitas belajar yang ada di desa Ledokombo, Jember – Jawa Timur. Selama tiga hari, Para peserta GA diajak untuk belajar bersama Komunitas Tanoker Ledhokombo, yaitu sebuah komunitas belajar yang berfokus pada pengembangan potensi anak, terutama di bidang kebudayaan.
Setelah kurang lebih lima jam perjalanan dari Surabaya menuju Jember, kami akhirnya sampai di Desa Ledhokombo sekitar pukul 01.00 WIB. Di sebuah tempat sederhana, kami sudah disambut dengan spanduk selamat datang dan volunteer Tanoker yang menyajikan sapaan hangat dengan kostum-kostum yang menarik. Ada yang pake kostum badut, kostum zombie, kostum tidur lengkap dengan selimutnya, sampai yang memakai penutup makanan sebagai topi dan tempurung mirip kura-kura ninja. Sembari mencicipi kacang rebus, eda mame (kedelai jepang), dan teh hangat campur kapulaga dan jahe — penjelasan dan sambutan panitia kepada kami terasa hangat dan menyenangkan. Sampai-sampai kami hampir lupa sudah melakukan perjalanan yang panjang dan melelahkan dari Surabaya – Jember. Dengan sambutan meriah nan hangat seperti ini, Sudah bisa dipastikan, selama tiga hari ke depan kami akan melalui hari-hari yang seru di tempat ini. Dan benar lah ternyata, tiga hari di sana, selain melanjutkan acara Kuliah GA dengan materi strategi pembelajaran dan pembuatan RPP, kami merasakan hal-hal seru lain yang akan terus tercatat sebagai salah satu perjalanan yang seru dalam lembaran hidup kami. Setidaknya ini lah hal-hal seru yang kami temukan di sana :
1. Menyaksikan Potensi Anak-anak yang Luar Biasa
Hari pertama, setelah sarapan pagi yang enaknya bukan main itu, apalagi makannya sambil duduk di bawah pohon-pohon yang rindang — kami langsung dikejutkan dengan lima gadis kecil berseragam sekolah yang tetiba langsung perform di panggung alam berupa tanah yang agak tinggi di halaman belakang Tanoker yang diiringi pukulan perkusi. Empat gadis itu menyanyikan beberapa lagu tradisional dan mars Tanoker yang salah satu bagian liriknya sangat menginspirasi, “ Setiap Orang adalah Guru, Alam Raya Sekolah Kita”. Mendengar itu, Pak Munif Chatib, selaku Rektor GA ^__^, langsung teriak, “Sekolahnya Manusia banget itu”. Sebuah filosofi yang yang luar biasa saya rasa. Sebuah paradigma yang memang harus tertancap dalam benak kita bahwa belajar tidak lah harus dengan ruang kelas, bangku, papan tulis, dan guru yang berbusa-busa ngomong di depan mengajarkan materi. Kehidupan sosial dan alam raya kita adalah madrasah abadi bagi kita semua.
Di agenda-agenda kami yang berikutnya, lebih banyak lagi anak-anak yang menunjukkan kebolehannya berkarya seni, diantaranya yang paling menonjol adalah menari dengan egrang dan bermain perkusi. Dari permainan dan performa mereka jelas sekali mereka adalah anak-anak yang professional. Tak heran jika mereka sudah perform ke berbagai penjuru mata angin, bahkan sampai ke luar negeri. Kami sempat tak berhenti dibuat takjub dengan penampilan menari di atas egrang mereka. Tak jarang juga mereka menari dengan satu egrang dengan berbagai iringan musik, mulai dari lagu tradisional sampai gangnam style. Kami semakin menikmati penampilan mereka ketika diajak bergabung menari bersama, seperti tari sajojo sampai goyang sesar.
2. Polo Lumpur
Ini olah raga hasil kreasi Tanoker, Polo Lumpur. Sesuai namanya, olah raga ini memang mirip polo air, tapi dimainkan bukan di air, melainkan di lumpur. Aturan permainannya seperti sepak bola.Hanya saja ini tidak menggunakan kaki, tapi menggunakan tangan untuk mengoper bola dan memasukkan ke dalam gawang. Pemegang bola tidak boleh memegang bola lebih dari lima langkah, jika itu terjadi, maka akan ada pelanggaran.
Permainan ini dimainkan di sawah yang sudah disiapkan lengkap dengan lumpurnya. Kami semua berangkat ke tempat itu dengan menggunakan truk. Bisa dibayangkan betapa hebohnya kita berempat puluh lebih naik truk sambil teriak-teriak heboh kayak bonek mau nonton Persebaya. Kalau sudah begitu kayaknya sudah lupa usia dan lupa profesi… Hahaha….
Sebelum bermain kami pemanasan ringan dulu dengan goyangan-goyangan ringan diiringi music dangdut yang sudah teriak-teriak dari sound system gede yang disediakan panitia. Lumayan lah… Biar otot-otot gak kaget pas main nanti, meskipun pada akhirnya kami harus kalah dengan skor 3 – 0 melawan anak-anak belasan tahun dari Tanoker. Maklum faktor usia. Hihihi… Belasan orang tua yang sudah jarang olah raga, baru pertama kali main polo lumpur, dan susah lari apalagi harus lari di atas lumpur yang kurang bersahabat — jelas tak sebanding dengan gerakan lincah anak-anak yang sudah jago main polo lumpur ini. *pembelaan.com.
Tapi jelas yang jadi tujuan bukan kalah dan menang, tapi bersenang-senang, karena dengan nyebur dan berkotor-kotor di lumpur saja sudah seperti membuat kami merasa muda kembali dan riang gembira. Beban pekerjaan, death line, dll., seakan sudah luntur bersama lumpur yang yang menggenangi tubuh kami. Yang ada hanya keceriaan. ^__^
3. Makanan yang Luar biasa lezat
Tak ada yang lebih nikmat selain menikmati makanan langsung dibawah pohon-pohon yang hijau. Merasakan angin semilir yang berhembus dari alam yang belum terkontaminasi. Ditambah dengan menu makanan yang sangat Indonesia. Selama tiga hari di sana, kami dimanjakan dengan berbagai makanan tradisional yang sangat sesuai dengan lidah Indonesia. Dari awal, Bu Ciciek, pendiri Komunitas Tanoker sudah menjelaskan kepada kami bahwa makanan tradisional adalah yang paling sehat dan lengkap gizinya. Tak ketinggalan juga rasanya yang jelas dahsyat karena terbuat dari bahan dan bumbu-bumbu yang masih alami.
Ditambah lagi semua makanan itu dimasak oleh tetangga-tetangga sekitar Tanoker, yang pastinya ada rasa kebersamaan dan ketulusan di dalamnya sehingga berbagai makanan itu semakin powerfull. Ada perpaduan antara lidah yang termanjakan dan suasana yang tentram ketika memakan nasi jagung plus pecel pincuk, soto ayam dengan mangkuk bathok kelapa, kue lapis batik dan pudding papaya yang sampai-sampai kami keheranan gimana cara membuatnya karena terlihat rumit deari bentuknya. Di malam harinya kami juga masih dimanjakan dengan makanan jagung bakar yang langsung dibakar di api unggun, belasan durian yang nikmatnya aduhai sekaligus membawa dilemma bagi yang punya kolesterol tinggi, serta ikan kakap bakar yang kami gasak dengan lahap. Hmmmm…. Bahkan, restoran mewah dengan makanan perancis yang super mahal pun tak akan bisa mengalahkan kenikmatan makanan di sini, karena selain kekuatan rasa yang keren, juga dikombinasikan dengan suasana alam dan kebersamaan yang hangat. Maka nikmat TuhanMu yang manakah yang kan kau dustakan ? Hehehe….
4. Kekeluargaan dan Hujan Inspirasi
Ada yang bilang bahwa ketulusan itu menular. Dan ketika orang-orang yang penuh ketulusan itu bertemu, maka tak butuh lama untuk saling melebur. Dan tiga hari saya rasa adalah waktu yang sangat pendek untuk sebuah pertemuan. Tapi entah kenapa kami dari GA dan Tanoker sudah kerasa kenal sangat lama. Hanya tiga hari bertemu, tapi kita sudah bisa saling gila-gilaan bersama, sudah tak ada lagi saling sungkan untuk saling meledek dan terbahak bersama-sama Bu Ciciek dan Lek Hang selaku pendiri Tanoker dan juga para volunteer yang luar biasa. Kami juga sudah bebas keluar masuk wilayah Tanoker dengan tanpa sungkan, layaknya rumah sendiri.
Ketika acara api unggun di malam terakhir, kami merasakan sebuah kebersamaan yang luar biasa. Kekeluargaan yang begitu hangat yang membuat kami sudah melupakan Jaim (Jaga Image) dan merasakan kebersamaan dengan bernyanyi dan menari bersama. Bahkan Pak Munif juga sempat show tunggal bersama Mokhsa menyanyikan lagu-lagu idole mereka berdua, Iwan Fals.
Tanoker adalah tempat yang sangat welcome dan homy bagi setiap orang yang ada di dalamnya. Dan saya pikir itulah kenapa banyak orang seperti para volunteer dari mahasiswa-mahasiswa Unej yang energik, anak-anak Ledokombo yang keren, dan masyarakat sekitar yang juga seakan tersetrum dengan semangat dan ketulusan Tanoker. Saya yakin bahwa orang-orang dan komunitas-komunitas yang lain yang berkunjung ke sini juga akan merasakan hal yang sama dengan kami. Merasakan kekeluargaan yang luar biasa juga inspirasi yang tiada henti. Inspirasi dari pasangan Bu Ciciek dan Lek Hang, Volunteer, dan masyarakat sekitar yang berhasil membuktikan bahwa anak kampung pun pun bisa berprestasi. Anak Kampung pun yang kebanyakan yatim piatu secara sosial karena ditinggal kedua orang tuanya untuk menjadi TKI (Tenaga kerja Indonesia) di berbagai negeri orang, pun punya kemampuan untuk menggoyang dunia dengan egrang.
Tanoker sudah berhasil membuktikan pernyataan salah satu pakar pendidikan Amerika, Thomas Armstrong, yang mengatakan bahwa Setiap anak itu cerdas. Setiap anak itu istimewa. Setiap anak itu juara. Apapun kondisi dan latar belakangnya. Tanoker adalah ketulusan yang menginspirasi, yang berhasil membutktikan bahwa ledokombo adalah kampung yang tak kampungan. Dan anak-anak di dalamnya juga bukan anak kampung yang kampungan. Tapi anak kampung yang memiliki global competence.
Tanoker Ledokombo… “Semua orang adalah Guru. Alam raya Sekolah Kita. ”
https://www.facebook.com/notes/asril-novian-alifi/