Oleh : Nurdin, S.Pd
Leodokombo adalah sebuah daerah dengan potensi wisata yang cukup menjanjikan. Letak geografisnya yang berada di bawah kaki Gunung Raung membuat pemandangan alam di Ledokombo terlihat begitu indah. Ditambah dengan pepohonan yang rimbun khas pedesaan, aliran sungai dengan air yang sangat jernih dan terdapat beberapa air terjun membuat pemandangan alam di Ledokombo begitu istimewa. Banyak orang dari Jember Kota maupun luar Kota Jember yang merindukan suasana desa yang masih asri berdatangan ke Ledokombo.
Wisata dan Perdamaian
Wisata dalam berbagai perspektif merupakan kegiatan untuk mengunjungi sebuah tempat dengan tujuan relaksasi, bersenang-senang, menambah pengetahuan dan dilakukan dalam kurun waktu yang singkat atau sementara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wisata adalah bepergian bersama-sama, bertamasya atau piknik. Tujuan dari wisata adalah untuk memperluas pengetahuan, refershing, menghibur diri, dan lain sebagainya.
Lalu apakah hubungan antara wisata dengan perdamaian ?
Dari beberapa tujuan wisata yang telah dikemukakan, hampir semuanya berorientasi pada kesenanagan, kebahagiaan, ketenangan bahkan kedamaian jiwa dan hati. Berwisata dengan mengunjungi tempat-tempat yang memiliki pemandangan alam yang indah dapat membuat fikiran menjadi lebih fresh dan tenang dari sebelumnya. Sebuah penelitian menunjukan bahwa orang yang berwisata, produksi hormon kortisol (hormon penyebab strees) yang ada di dalam tubuhnya menurun, dibandingkan dengan orang berdiam di rumah ketika ada masalah.
Sehingga berwisata menjadi alternatif untuk membuat jiwa menjadi tenang dan damai.
Tanoker yang selama ini menginisiasi kampung wisata Ledokombo mecoba memadukan anatara wisata dengan perdamaian. Dimana setiap orang yang datang berkunjung ke Ledokombo selain untuk menikmati keindahan alam, mempelajari kebudayaan masyarakat dan permainan tradisional juga mendapatkan edukasi tentang perdamaian. Berangkat dari berbagai permasalahan sosial yang terjadi di Ledokombo sendiri, Tanoker bekerjasama dengan Peace Generation sebuah lembaga yang berfokus mengusung nilai-nilai perdamaian melalui pengembangan media-media kreatif mencoba mengkaji kondisi sosial masyarakat Ledokombo dengan segala potensi dan permasalahannya untuk menciptakan sebuah kawasan yang aman, damai dan ramah untuk dikunjung oleh semua orang. Peace Zone atau orang Ledokombo menyebutnya sebagai “Kampung Wisata Perdamaian” adalah sebuah mimpi yang akan diwujudkan bersama-sama.
Tujuh Destinasi Wisata Belajar Perdamaian
Sebagai sebuah Kampung Wisata, Ledokombo memiliki destinasi wisata yang beragam. Mulai dari wisata alam, wisata edukasi, wisata kuliner dan wisata kebudayaan. Dengan kemampuan pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat yang dimiliki oleh Tanoker, pergerakan masyarakat sudah mulai terlihat dengan terbentuknya komunitas-komunitas di tengah masyarakat yang terus bergerak menciptakan sendi-sendi yang saling mendukung, baik itu sendi ekonomi mupun sendi sosial yang saling menguatkan.
DESTINASI KAMPUNG BELAJAR TANOKER
Merupakan sebuah kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan belajar. Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-faktor tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan.
Selain tujuan wisata keluarga, kampung belajar Tanoker juga tempat tempat pertemuan berbagai golongan dari berbagai latar (Golongan, ras, ethnis bangsa dab kelompok budaya ) dikelola untuk saling menguatkan demi menciptakan perdamaian keadilan dan kesejahteraan, khususnya untuk anak anak, generasi penerus bangsa, harapan dunia.
Pengunjung dapat menikmati permainan tradisional, khususnya egrang, berenang di kolam renang Raspati, camping, out bond, dalam suasana asri hutan desa dan kebun bermain yang asri dan pengunjung juga bisa menikmati kuliner Ledokombo yang menggoyangkan lidah dan selera, pengunjung yang akan berbelanja khas Ledokombo juga tersedia di tanockraft yang memproduksi aneka kerajinan- kerajinan Ledokombo.
DESTINASI PASAR LUMPUR
Pasar Lumpur diadakan setiap hari Minggu akhir di setiap bulannya. Pasar unik yang digelar satu bulan sekali ini menyajikan beberapa kegiatan yaitu bazar kuliner tradisional yang sehat dan unik selain itu juga terdapat aneka pernak pernik unik yang kreatif khas Ledokombo. Selain itu juga terdapat berbagai permainan tradisonal diantaranya egrang, Polo Lumpur, bekiak dan permainan tradisional lainnya.
Pasar Lumpur memfsilitasi wahana untuk menunjukkan kreatifitas masyarakat di Kecamatan Ledokombo yang menjadi destinasi wisata belajar yang inspiratif khususnya di Kabupaten Jember dan di tempat tersebut masyarakat bisa mengkampanyekan produk lokal sehat kreatif yang dimulai dari desa untuk dunia berbasis kearifan lokal dan merayakan kebersamaan dengan menikmatkan solidaritas antar berbagai elemen masyarakat Kecamatan Ledokombo dengan berbagai stakeholders di Jember dengan pendekatan budaya kearifan lokal di lokasi yang dekat dengan air terjun.
DESTINASI PESANTREN KOPI, AT-ATANWIR
Pesantren At-Tanwir atau juga dikenal dengan sebutan Pesantren Kopi terletak di Dusun Sumber Gadung, Desa Slateng Kecamatan Ledokombo. Sebuah Dusun yang berada di ujung Desa Slateng. Pondok Pesantren yang terletak di bawah kaki Gunung Raung ini merupakan Pesantren yang didirikan oleh saeorang Kiyai Muda bernama Muhammad Zainul Wasik, atau masyarakat lebih akrab menyapanya dengan Ustad Danil.
Ustadz Danil merintis Pondok Pesantre At-Tanwir sejak tahun 2006, saat beliau pulang kampung ke rumah istrinya di Dusun Sumber Gadung. Lika-liku kehidupan sosial masyarakat yang mengiringi perjalanan Pesantren At-Tanwir justru membuatnya menjadi lebih kuat dan menenemukan banyak inovasi baru untuk terus bertahan dan berkembang. Dusun Sumber Gadung yang merupakan salah satu daerah penghasil kopi yang cukup besar membawa “keberkahan” tersendiri bagi keberlangsungan Pesantren At-Tanwir. Dulu kopi sempat banyak menghambat proses kegiatan di sekolah atau di pondok, karena banyak siswa yang seringkali ijin ataupun tidak masuk sekolah karena harus mebantu orang tua yang menjadi buruh di lahan kopi. Pendidikan menjadi sesuatu yang belum diprioritaskan kala itu. Namun, cerita kopi sebagai penghambat masyarakat dalam menuntut ilmu kini sudah berubah drastis.
Kini, kopi yang menjadi komoditas andalan masyarakat Sumber Gadung dapat menyokong keberlangsungan pendidikan anak-anak di Pondok Pesantren At-Tanwir yang sebagiannya adalah anak-anak pekerja migran. Para santri bersama-sama menanam kopi, hasil olahan kopi kemudian dijual dan hasilnya dibagi untuk kebutuhan santri dan pesantren, mulai dari biaya seragam, SPP dan kebutuhan untuk membangun fasilitas-fasilitas lain di pesantren dapat disokong dari hasil pertanian kopi.
Sumber Gadung yang dulunya adalah daerah yang belum terbuka, dikenal dengan daerah yang banyak masalah sosial terjadi disana, kini menjadi tempat belajar yang ramah dan menyenangkan. Masyarakat dari luar Sumber Gadung maupun luar Jember kini mulai bedatangan untuk belajar tentang kehidupan masyarakat disana dan belajar bagaiamana peran Pesantren Kopi menjadi salah satu motor penggerak perubahan sosial di masyarakat.
DESTINASI SENTRA MANIK-MANIK ELISA RAINBOW
Siapa yang menyangka assesoris berupa manik-manik yang diproduksi oleh ibu-ibu rumah tangga yang terletak di sebuah dusun terpencil bernama Dusun Sumber Lesung Onjur, Desa Sumber Lesung Kecamatan Ledokombo, ini sudah merambah pasar mancanegara. Manik-manik ini sudah banyak dugunakan oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia, sebut saja seperti Amerika, Lostarika, Belanda, Australia,Thailand dan masih banyak lagi negara-negara lainnya. Ditangan seorang perempuan kreatif dan tangguh bernama Elisa, manik-manik ini menjadi simbol kebangkitan Elisa dan ibu-ibu di sekitar lingkungan tempat tinggalnya.
Elisa, seperti itulah orang-orang biasanya memanggilnya. Perempuan yang dahulunya pernah bekerja di luar negeri kurang lebih selama 7 tahun tersebut menyimpan banyak kisah inspiratif tentang perjuangannya merintis usaha manik-manik yang saat ini mengantarkannya menjadi salah satu penggerak kegiatan ekonomi di Ledokombo. Berkat kegigihannya, kesabaran dan kemauan yang keras untuk bangkit dari kondisi yang pelik, Elisa kini bersama 300 orang disekitar rumahnya berkreasi menghasilkan produk assesories Manik Manik
Kisah kesuksesan Elisa dimulai sepulangnya dari luar negeri sebagai salah satu pekerja migran. Bermodal uang yang ia kumpulkan selama bekerja di luar negeri dan bahasa Inggris, Elisa mencoba merintis usaha manik-maniknya di Bali. Kemampuannya berbahasa Inggris membuatnya dengan mudah mencari pelanggan dari berbagai negara. Namun usahanya tidak langsung berj
alan dengan mulus, Berbagai masalah sempat datang menerpanya, mulai dari masalah usaha dan rumah tangga. Ia sempat rugi besar bahkan sampai bangkrut dan habis. Apakah Elisa kemudian menyerah? Tidak ! Hal tersebut. sama sekali tidak membuatnya bergeming. Elisa bangkit lagi, memulai kembali usahanya. Jaringan-jaringan dengan pelanggan ia perkuat, usahanya di manage dengan lebih hati-hati dan lebih baik lagi.
Setalah usahanya di Bali meningkat, Elisa kemudian pulang kampung dan memproduksi manik-manik tersebut dari rumahnya. Karena orderan semakin banyak, Elisa sadar tidak dapat bekeja sendririan. Ia merekrut Ibu-ibu disekitar rumahnya untuk bekerja bersamanya. Lambat laun usaha manik – manik tersebut seperti menular dan menjalar dari rumah ke rumah. Masyarakat di sekitar rumahnya maupun dari luar dusun ikut kecipratan getah manis dari usaha manik-manik yang dirintis oleh Elisa.
Kini masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari sebuah usaha pantang menyerah, ulet dan sebuah kemauan keras untuk terus menjadi seorang pembelajar dari sosok perempuan tangguh bernama Elisa. Tak sedikit orang-orang yang datang ke Ledokombo untuk belajar dan sekedar mendengarkan kisah inspiratif dari Elisa.
DESTINASI SEKOLAH EYANG-EYANG
Sekolah Eyang-eyang adalah perkumpulan lanisa di Desa Sumberlesung awalnya berinisiatif untuk membuka ruang belajar tentang pengasuhan bersama . Sekolah yang-eyang ini hadir didasari semangat bersama untuk menjadi lansia yang berkualitas dan menciptakan generasi emas. Sekolah ini merupakan kerjasama antara Karang Werda Bungur Desa Sumber Lesung Kecamatan Ledokombo dengan Komunitas Tanoker. Lembaga-lembaga ini bersama-sama membangun wadah positif untuk kegiatan pengembangan masyarakat dan kepengasuhan anak. Terutama upaya untuk memenuhi hak-hak anak dalam proses tumbuh kembangnya.
Kegiatan pendidikan parenting di sekolah eyang dilakukan setidaknya sebulan dua kali, yakni pada hari Kamis minggu pertama dan keempat setiap bulannya. Ilmu dari kelas dipraktekkan di rumah dan lingkungan masing-masing. Bukan hanya cucu sendiri, mereka juga saling mengingatkan cucu tetangga bila berbuat tidak baik. Peningkatan pemahaman tentang pendidikan keluarga, pola pengasuhan positif serta mendidik anak-cucu di era digital diberikan kepada para eyang. Mereka berlatih untuk menumbuhkembangkan generasi masadepan yang kritis dan berkualitas. Memberikan hak, mendorong kreaktifitas para cucunya dan membentengi mereka dari berbagai hal negatif.
Selain belajar parenting, para eyang juga menambah berbagai ilmu dan ketrampilan serta melakukan berbagai kegiatan positif untuk mewujudkan mimpi bersama “masa tua sehat dan bahagia” dalam kehidupan keseharian.
DESTINASI SEKOLAH PAK-BAPAK DAN SEKOLAH BOK-EBOK
Sekolah Pak-bapak dan Sekolah Bok-ebok adalah sekolah yang diasuh oleh pasangan suami istri Pak Ali dan Bu Latifah. Bukan seperti sekolah formal pada umumnya yang hadir di kelas setiap hari, sekolah ini berlangsung satu kali dalam satu minggunya, dihadiri oleh ibu-ibu dan bapak-bapak disela-sela waktu luang mereka sepulang dari bekerja. Pak Ali dan Ibu Latifah, Mereka berdua sebagai tutor yang mengisi pertemuan setiap minggu. Pak Ali di sekolah Pak-Bapak dan Ibu Latifah di Sekolah Bok-ebok.
Sekolah Pak-bapak, Bok Ebok merupakan langkah collaborative parenting. Sekolah-sekolah ini menjadi ruang belajar bersama untuk penuhi hak anak, khususnya anak buruh migran. Bahkan lebih dari itu setiap orang belajar tentang kesadaran gender. Sekolah ini sebagai wadah belajar orang tua, khususnya mereka yang ditinggal pasangan ke luar negeri untuk bekerja. Mereka belajar tentang pola pengasuhan bersama atau collaborative parenting atau mereka menyebutnya juga sebagai pengasuhan gotong royong.
Gotong royong, sebab pengasuhan sejatinya bukan hanya tanggung jawab orang tua saja, tapi menjadi tanggung jawab lingkungan sekitar. Setiap orang yang dilingkungannya terdapat anak-anak, maka mereka juga memilki tanggungjawab moral untuk memberi perhatian dan pengasuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka memilki semboyan “anaku, anakmu, anak kita bersama”
Pak Ali dan Ibu Latifah adalah pasangan yang menjadi guru di sebuah lembaga pendidikan islam bernama Yayasan Nuruzzaman. Pak Ali sebagai guru di Madrasah Ibdtida’iyah (MI) sementara Ibu Latifah sebagai guru di Raudlatul Athfal (RA). Di luar profesinya tersebut, mereka berdua juga mengajar ngaji kepada anak-anak di lingkungannya. Selain itu,Ibu Latifah sebagai ketua muslimatan (pengajian rutin ibu-ibu ) dan Pak Ali sebagai ketua pengajian untuk Bapak-bapak. Mereka berdua aktif dalam kegiatan pembinaan di masyarakat.
Suatu ketika, mereka berdua berfikir untuk mencari sebab anak-anak yang sangat sulit di atur tersebut. Kemudian Pak Ali dan Ibu Latifah memperkirakan ini semua disebabkan oleh pola asuh dari orang tua, karena tidak bisa dipungkiri sebagian dari murid mereka adalah yang orang tuanya berada di luar daerah/negeri untuk bekerja. Anak-anak yang pengasuhannya tidak lengkap ini kemudian seringkali kekurangan perhatian, tidak ada yang menegur mereka di rumah jika mereka berbuat salah. Walaupun sebagian dari mereka yang ditinggalkan, dititipkan kepada paman atau bibi, nenek bahkan ada yang dititipkan di tetangganya. Akan tetapi, tanpa kehadiran orang tua utama (Ayah dan Ibu) yang mendampingi tumbuh kembang anak, pasti akan ada kekosongan pada ruang pengasuhan.
Atas dasar masalah itulah, lahir sekolah Bok-ebok (Ibu-ibu) yang memfasilitasi para Ibu-ibu belajar bagaimana pola asuh yang terbaik buat anak-anak mereka. Menagapa Ibu-ibu? Karena mereka yang memilki keperihatinan dan kepedulian terlebih dahulu terhadap pentingnya ilmu tentang pengasuhan yang benar. Seiring waktu berjalan, Ibu-ibu ini merasa bahwa mengasuh anak selama ini dilakukan berdua dengan suami. Akan tetapi jika yang paham hanya satu pihak saja maka pengasuhan juga akan menjadi timpang sebelah, bapaknya tidak faham mengasuh anak yang baik itu seperti apa.
Dalam perjalannya Ibu-ibu ini juga mendorong untuk dibentuknya sekolah bagi Bapak-bapak. Sekolah bagi bapak-bapak ini juga menjadi penting, karena banyak bapak-bapak yang ditinggal isterinya untuk bekerja ke luar daerah sehingga mereka juga kebingungan dan cenderung kurang siap mengelola keluarga tanpa seorang istri. Kedua sekolah ini akhirnya memfaslitasi ruang bincang bagi para orang tua untuk belajar pengasuhan secara baik dan benar.
DESTINASI DHAPOER BHATEK KHO-KHO
Ledokombo kini ramai dan terbuka dengan kreativitas. Batik khas Ledokombo merupakan karya lintas generasi asal Desa Slateng. Berawal dari seorang remaja yang bermimpi menjadikan daerah sekitar tempat tinggalnya menjadi “Dapur Batik”. Ruang dimana setiap orang dapat saling belajar dan menikmati sensasi membatik. Ia bersama para perempuan berkarya membuat berbagai motif batik. Salah satunya adalah Motif Egrang yang menjadi khas Batik Ledokombo. Motif yang terinspirasi dari kreasi seni anak-anak Ledokombo “Tarian Egrang”.
Seiring waktu, Ḍâpor Bhâṭèk Kho-Kho berinisiatif untuk bekerjasama dengan lebih banyak pihak di Ledokombo. Lansia digandengnya untuk berkarya membuat tabung anyaman bambu sebagai kemasan yang disebut Brungso’. Terinspirasi dari penutup mulut sapi pembajak sawah yang oleh masyarakat Ledokombo disebut Songo. Selain untuk kemasan kain, Brungso’ ini dapat dimanfaatkan kembali sebagai tempat buah, pembungkus botol, hiasan tempat lampu atau lainnya sesuai dengan kreativitas anda.
Kisah warna-warni karya kreatif dari masyarakat Ledokombo untuk melestarikan budaya Indonesia. Mari menjadi sahabat Ledokombo dengan turut membagikan kisahnya dan miliki kain batiknya. Dengan membeli produk ini, anda membantu perekonomian keluarga masyarakat Ledokombo. Lansia digandengnya untuk berkarya membuat tabung anyaman banbu sebagai kemasan yang disebut Brungso’. Terinspirasi dari penutup mulut sapi pembajak sawah yang oleh masyarakat Ledokombo disebut Songo, selain untuk kemasan kain, Brungso’ ini dapat dimanfaatkan kembali sebagai tempat buah, pembungkus botol, hiasan tempat lampu atau lainnya sesuai dengan kreatifitas anda.
Kisah warna-warni karya kreatif dari masyarakat Ledokombo untuk melestarikan budaya Indonesia. Mari menjadi sahabat Ledokombo dengan turut membagikan kisahnya dan miliki kain batiknya. Dengan membeli produk ini, anda membantu perekonomian keluarga masyarakat Ledokombo