“Mobilitas sosial seringkali mengakibatkan adanya mobilitas geografis yang disertai dengan kerugian yang menyakitkan, karena ikatan sosial yang sudah sekian lama terjalin lenyap” (Lane, 1977)
Pada era kemerdekaan negara Republik Indonesia yang ke 72 ini, masyarakat Indonesia telah memasuki zaman masyarakat berkelas sosial yang semakin terbuka, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang tinggi. Walaupun di beberapa komunitas masih ada yang berada dalam masyarakat berkelas sosial tertutup. Kondisi ini menjadi salah satu pendorong, baik warga kota maupun desa-desa tertinggal berupaya dengan berbagai cara untuk memanfaatkan peluang agar diri dan anggota keluarga melakukan mobilitas sosial, terutama mobilitas geografis dengan berbagai alasan. Alasannya bisa karena ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik, mendapatkan kerja dengan penghasilan yang lebih baik, terbebas dari kehidupan miskin, atau karena lari dari tragedi kehidupan yang melingkupi—perceraian, korban KDRT, pengangguran, terjerat hutang atau terjerat rayuan agen trafficking. Jadi mobilitas sosial adalah bagian dari perjuangan hidup setiap orang untuk membebaskan diri dari penderitaan hidupnya demi mendapatkan kesejahteraan dan kebahagian yang lebih baik.
Mobiliitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Dalam dunia modern , banyak negara berupaya agar dapat meningkatkan mobilitas sosial warganya, karena yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih berbahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial para individu berbeda, maka mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat sosial rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan terkungkung dalam status para nenek moyang mereka (Horton dan Hunt, 1990).
Mobilitas sosial dalam bentuk melakukan migrasi sebagai pekerja migran ke berbagai kota besar bahkan ke negara lain, untuk merubah nasib kehidupan keluarga terutama di kalangan keluarga miskin dan warga di desa-desa tertinggal di berbagai wilayah Indonesia baik di wilayah Kabupaten Jember Jawa Timur , di pulau Jawa maupun luar Jawa terutama daerah Indonesia Timur seperti NTT dan NTB sangat tingggi.
Kepergian salah satu anggota keluarga inti, ayah atau ibu atau keduanya di satu sisi menimbulkan keberkahan dan di sisi lain juga kadang menjadi malapetaka bagi keluarga, bisa jadi kesejahteraan keluarga meningkat lebih baik, dukungan biaya pendidikan yang lebih terjamin bagi anak-anak namun juga sering terjadi kesejateran keluarga tambah merosot, perceraian, pendidikan dan tumbuh kembang anak hancur berantakan. Sehubungan dengan hal ini, sosiolog Amerika, Coleman percaya berdasarkan peneilitiannya bahwa mobilitas geografis cenderung meruntuhkan modal sosial keluarga, dengan konsekuensi yang merusak bagi pendidikan anak-anak (Field,2016).
Mobilitas sosial terutama mobilitas geografis warga adalah bagian dari perjuangan hidup yang tidak akan pernah berhenti, justru kecenderungan di masa depan akan terus meningkat. Oleh karena itu, jumlah anak-anak di desa yang berada pada periode tumbuh kembang yang ditinggalkan oleh para orang tua yang menjadi pekerja migran juga akan meningkat. Dari penelitian tanoker (2015), anak-anak yang ditinggalkan ibu/bapaknya menjadi pekerja migran sebagian besar sekitar 80% dibawah umur 10 tahun.
Tantangannya adalah, pertama, bagaimana mengatasi dampak sosial dari dinamika mobilitas sosial geografis terutama bagi perkembangan tumbuh kembang anak yang ditinggalkan orang tuanya menjadi pekerja migran. Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya tersebut, umumnya dititipkan kepada nenek-kakek, bibi paman atau ke tetangga dekat, tidak bisa sekedar dilihat bahwa tanggung jawab pengasuhan anak-anak hanya oleh keluarganya, tetapi harus ditempatkan sebagai masalah tanggungjawab pengasuhan bersama anggota komunitas dimana anak-anak tersebut berada dan juga tanggungjawab pemerintah. Kedua, bagaimana partisipasi seluruh warga komunitas dalam pengasuhan bersama ini menjadi jaringan kerja sama di tingkat kampung yang terlembagakan. Dan ketiga, bagaimana menunbuhkan kepercayaan antar warga satu dengan yang lainnya bahwa partisipasi mereka dalam memperkuat pengasuhan bersama anak-anak pekerja migran di kampung sebagai modal sosial penting untuk memajukan dan memakmurkan kampung nya serta mengembangkan tumbuh kembang anak-anak kampung menjadi lebih baik.
Jika ketiga tantangan tersebut bisa direspon dalam bentuk gerakan aksi yang kongkrit di tingkat kampung maka kemungkinan besar anak-anak pekerja migran akan dapat tumbuh kembang dengan lebih baik dan berprestasi lebih baik pula di sekolahnya. Atau seperti yang dikatakan Laugglo (2000) ini akan menjadi modal sosial yang dapat menghilangkan nasib malang kelas sosial dan lemahnya modal budaya. ***
Dr. Ir. Suporahardjo Msi.