Sumbersalak, Kec. Ledokombo – Sejumlah desa di Jember menjadi kantong buruh migran. Sumbersalak di Ledokombo salah satunya. Menjadi desa peduli buruh migran, Sumbersalak memiliki atensi tinggi terhadap warganya yang hendak menjadi buruh migran maupu
n yang mantan buruh migran.
Pusat Pelayanan Informasi Terpadu (PPIT). Tulisan itu tertera di sebuah vinil yang tidak terlalau besar, menempel di dinding salah satu ruangan di Kantor Desa Sumbersalak, Ledokombo. Ruangan yang berukuran sekitar 2 x 3 meter itu dihuni dua buah meja. Satu meja diantaranya terdapat sebuah personal computer (PC).
Di bagian dinding dalam terdapat beberapa diagram statistik. Diagram-diagram itu menampilkan data tentang jumlah warga desa yang menjadi buruh migran berdasar gendernya, dusun tempat tinggalnya, usia, negara tujuan, dan sebagainya. Di sisi dinding yang lain terdapat peta wilayah Sumbersalak dengan basis RT dan RW.
Selam ini, PPIT dipandegani 12 pemuda asli desa tersebut. “Sebelumnya meraka ini kami dampingi. Sebalumnya mereka sudah menerima dapat bimbingan mengenai pencarian informasi, pengolahannya, penyajiannya, komputer dan media sosial,” ujar Sisillia Velayati, relawan sanggar Tanoker, yang selama ini melakukan pendampingan di Sumbersalak.
Sumbersalak selama ini menjadi salah satu desa pengirim buruh migran yang cukup besar di Kecamatan Ledokombo. Data PPIT menyebutkan, dari Januari sampai Maret 2016 ada 156 orang warga Sumbersalak yang menjadi buruh migran di luar negeri. Mayoritas perempuan dengan jumlah 126 orang dan laki-laki 30 orang. Negara yang paling banyak dituju adalah Malaysia dan disusul Arab Saudi.
“ Tradisi” merantau ke luar negeri sudah lama ada di desa itu. Tidak ada yang tahu persis kapan kali pertama warga Sumbersalak menjadi buruh migran. Tetapi, Abdul Haki, Kepala Desa Sumbersalak, mengakui bahwa himpitan ekonomi yang menjepit kerap mendorong warganya menjadi buruh migran. “Hampir semua yang menjadi buruh migran itu secara ekonomi miskin,” akunya.
Sebagai Kepala Desa, Haki tidak bisa mencegah kemauan warganya yang hendak menjadi buruh migran. Yang penting, keberangkatan mereka dilakukan dengan cara yang benar. Sebab, tidak sedikit warganya yang terjebak oleh ulah tekong (semacam perekrut calon buruh migran) nakal.
Mencegah adanya warga yang terjebak ulah tekong nakal, para relawan Tanoker giat melakukan edukasi dan sosialisasi cara bermigrasi yang benar. “Kami keluar masuk kampung untuk memberikan sosialisasi mengenai cara migrasi yang benar,” kata Sisillia.
PPIT yang dihuni para pemuda desa setempat menjadi salah satu ujung tombak untuk melakukan edukasi mengenai migrasi yang benar di Sumbersalak. Dalam perkembangannya, PPIT juga membuat “website desa” yang beralamat di sumbersalak.id. Selain itu, PPIT juga membuat akun di berbagai platform media sosial. “Beragam informasi kami diseminasi di website dan media sosial,” ujar gadis yang biasa disapa Sisil ini.
Hasilnya cukup lumayan. Warga Sumbersalak yang berada di luar negeri mengetahui informasi terbaru desanya. Selain itu, mereka bisa melakukan komunikasi di media sosial. Tidak heran, sebagian kebuntuan komunkasi bisa di bongkar di media sosial.
Sebagai kepala desa, Haki memberikan dukungan fasilitas total untuk PPIT dan pendampingan yang dilakukan Tanoker. Termasuk, ketika Tanoker bersama Pemerintah Desa Sumbersalajk dan Dinas Kependudukan dan Pencacatan Sipil (Dispendukcapil) Jember menggelar pembuatan KTP, Kartu Keluarga (KK), dan Akte Kelahiran On The Spot.
Menurut Sisil, kegiatan itu dirancang sejak awal 2015 ketika relawan Tanoker keluar masuk kampung untuk melakukan edukasi dan pendampingan. Dari blusukan ke kampung-kampung itu, Sisil dkk mendapati fakta bahwa banyak anak-anak buruh migran yang tidak memiliki Akte Kelahiran.
Padahal, dokumen kependudukan itu sangat penting untuk keperluan administrasi pendidikan anak-anak tersebut. “Mereka tidak bisa membuat akte karena KTP orang tua tidak ada. Sebab, KTP ikut dibawa ke luar negeri,” katanya.
Untuk memecah persoalan tersebut, awal 2016 Tanoker menjalin komunikasi dengan Dispendukcapil untuk merancang program pembuatan dokumen on the spot di Sumbersalak. “Sebagian KTP orang tua yang di luar negeri itu bisa kami dapatkan melalui media sosial dan website. KTP mereka foto, lalu dikirim melalui pesan di Facebook atau WhatsApp,” ungkap gadis lulusan Universitas Brawijaya, Malang ini.
Kesungguhan berbagai elemen itu membuat Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertras) menetapkan Sumbersalak sebagai Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi). Penetapan itu di lakukan oleh Menakertrans Hanif Dakhiri pada November 2015 , bertepatan dengan Jambore Buruh Migran di Universitas Jember.
Sebagai Desbumi, Haki mengatakan, pemerintah desa memberikan perhatian penuh terhadap persoalan buruh migran. Pendataan setiap warga yang hendak menjadi buruh migran didokumentasikan dengan rapi. Pemerintah desa ikut menghimbau agar warga yang menjadi buruh migran, baik melalui PJTKI ( Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ) maupun mandiri, untuk lapor ke desa.
Jika ada warga Sumbersalak yang menghadapi masalah di luar negeri, pemerintah desa bisa meminta bantuan Tanoker, Migrant Care, atau pemerintah di atasnya untuk melakukan penanganan. “Selama datanya jelas pasti akan kami bantu,” tegas Haki.
Bukan hanya menangani calon buruh migran atau buruh migran dan keluarganya di desa, pemerintah Desa Sumbersalak ikut membina dan memberdayakan mantan buruh migran yang menetap kembali di desanya. “Mereka kan masih punya modal dari gajinya selama di luar negeri, kami beri kegiatan. Seperti pelatihan membuat kerajinan, merajut, membuat cemilan, dan lainnya agar bias mendapatkan mata pencarian lain disini,” kata Hery Setiawan, Camat Ledokombo.
Para mantan buruh migran yang membuat produk makanan, difasilitasi oleh pemerintah Kecamatan untuk mendapatkan izin usaha dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan ( Disperindag ) ESDM Jember dan nomor produk industri rumah tangga ( PIRT ) dari Dinas Kesehatan Jember. “Meski masih kecil, tapi produk mereka sudah banyak dititipkan di warung atau toko-toko di Sumbersalak dan sekitar Ledokombo,” ujar Hery.
Meski demikian, Haki berharap jumlah warganya yang menjadi buruh migran terus berkurang. Bila itu terjadi, tandanya kesejahteraan mulai diraih warganya. “Se-enak-enaknya kerja di negeri orang, kalau boleh memilh, lebih enak kerja di negeri sendiri,” pungkasnya.(Hari Setiawan)
Jawa Pos, 25 Agustus 2016
Selengkapnya tentang Desa Sumbersalak bisa Anda kunjungi di http://sumbersalak.desa.id/