LEDOKOMBO – Komunitas Bermain Tanoker, punya cara menarik dalam memperingati Hari Anak Nasional (HAN) 23 Juli 2017 kemarin. Seperti biasanya, mereka mengadakan Minggu Pagi Ceria dengan bermain bersama. Yaitu dengan bermain di atas Lumpur.
“Karena kebetulan bertepatan dengan HAN, jadi Minggu Ceria ini kita kemas dengan lebih meriah. Sekalian bikin perayaan kecil-kecilan dengan lomba-lomba berhadiah untuk anak-anak kita,” tutur Amalia Ratih Insani, salah satu panitia sekaligus pendamping anak dalam Komunitas Tanoker kepada Jawa Pos Radar Jember.
Sebidang areal persawahan yang penuh dengan lumpur di Desa Sumber Lesung, menjadi arena bermain anak-anak pagi itu. Balap egrang yang kerap dimainkan di taman bermain Tanoker, pagi itu dipindahkan di areal yang penuh dengan lumpur.
Alhasil, permainan tradisional jawa yang memainkan sepasang kayu untuk berjalan tersebut, menjadi lebih sulit. “Kita mengajak anak-anak untuk tidak takut kotor ketika bermain. Selain itu, ada juga pesan filosofisnya, yakni agar anak-anak bisa lebih menyatu dengan bumi dan menghargai sawah yang menghasilkan beras untuk dikonsumsi manusia. Lumpur kan identik dengan sawah,” tutur perempuan yang akrab disapa Ratih ini. Selain melestarikan tradisi, Komunitas Tanoker juga percaya bermain egrang mampu menumpungkan kebersamaan dan merayakan persahabatan bagi anak-anak.
Tak sekedar egrang, pagi itu mereka juga merayakan HAN dengan lomba bakiak dan makan kerupuk di atas egrang, kesemuanya dilakukan di atas areal berlumpur. “Kami ingin menyampaikan pesan bahwa anak-anak harus diperhatikan hak-haknya seperti hak untuk bermain, mendapatkan pendidikan yang layak, kesehatan dan lainnya,” tutur alumnus Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Jember ini.
Pemenuhan hak-hak anak memang menjadi perhatian khusus bagi komunitas yang lahir dan berkembang di Kecamatan Ledokombo ini. Terlebih, Kecamatan Ledokombo selama ini dikenal sebagai salah satu kantung buruh migrant. Menurut Ratih, anak-anak yang ditinggal oleh orang tuanya untuk bekerja di luar negeri, menjadi tanggung jawab bersama bagi masyarakat di sekitarnya untuk dipenuhi segala hak-haknya terkait tumbuh kembang anak yang ideal.
Dalam beberapa kasus, lanjut Ratih, anak-anak dari buruh migran berpotensi tidak diperhatikan asupan gizi, kesehatan atau pola belajar dan bermainnya.
“Di sini, kami membaurkan anak-anak dari buruh migran untuk bermain bersama dengan anak-anak lainnya agar mereka tidak merasa berbeda atau kesepian. Sesekali juga kami memberikan edukasi tentang bagaimana anak-anak itu bisa memilih jajanan yang sehat,” tutur perempuan yang sudah 5 tahun terakhir bergabung di Komunitas Tanoker ini.
Sebelum bermain, mereka juga diajak untuk belajar bersama membuat kue dari tepung mocaf, atau tepung yang berasal dari singkong. Keterampilan itu mereka dapatkan dari pelatihan yang diberikan oleh Prof Achmad Subagyo, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Unej yang dikenal dengan temuan mocaf-nya itu.
“Saya senang sekali bermain di sini, karena selain menambah teman, juga bisa mendapatkan pengetahuan dan memainkan permainan tradisional yang jarang dimainkan di tempat lain,” tutur Ike Suci Romadhoni, salah satu anak di Komunitas Tanoker. Ike yang sudah sekitar lima tahun bermain di Komunitas Tanoker, memiliki ibu yang sebelumnya bekerja sebagai TKW di Arab Saudi selama sekitar 10 tahun.
Meyakinkan para orang tua agar tidak ragu membiarkan anak-anaknya bermain di lumpur, bukan cara yang instan. Sejak lama, komunitas ini giat mengajak para orang tua agar anak-anaknya bisa bebas bermain di alam terbuka, melalui berbagai sarana desa. “Kita sosialisasikan ke pelosok-pelosok desa, melalui pengeras suara,” tutur Muhammad Haris, warga Dusun Sumbernangka, Desa Ledokombo yang menjadi salah satu panitia.
Permainan di Komunitas Tanoker juga menarik perhatian bule. Seperti Sawyer Martin French, pemuda 22 tahun asal kota Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Sejak beberapa hari terakhir, alumnus kajian Timur Tengah dari Universitas George Washington ini bergabung dan tinggal bersama di Taman Bermain Komunitas Tanoker yang ada di Desa Ledokombo. Martin tampak tak canggung dan berbaur akrab dengan anak-anak yang bermain di lumpur. “Kebetulan saya lagi penelitian tentang pendidikan sekolah di sini. Sekalian bermain. Seru juga, main permainan tradisional Jawa ini,” tutur Martin yang fasih berbahasa Indonesia dan sedang menempuh kuliah non-gelar di FISIP UGM ini.
(jr/ad/har/JPR)
Dikutip dari : http://www.jawapos.com/radarjember/read/2017/07/24/3291/asyiknya-bermain-di-atas-lumpur