Dari Egrang Majukan Warga Hingga Penghargaan Daerah Layak Anak

Peringatan hari perempuan internasional (International Women’s Day) yang jatuh pada 8 Maret 2021 mengingatkan kita tentang banyaknya perempuan berpengaruh yang mengubah dunia. Namun, orang hebat dengan banyak prestasi internasional juga ada di Jember, yakni Ledokombo. Dia adalah Farha Ciciek yang berhasil menjadi oase pemberdayaan bagi warga Ledokombo dan sekitarnya, khususnya bagi anak-anak buruh migran.

JEMBER, RADARJEMBER.ID – Warga di Kecamatan Ledokombo mungkin tidak pernah menyangka daerahnya akan dikenal bukan hanya di tingkat nasional, namun juga internasional. Mereka pun banyak didatangi oleh tamu dari luar daerah dan luar negeri. Ya, kehadiran Farha Ciciek dan keluarganya pada 2009 lalu benar-benar menjadi oase bagi daerah yang banyak ditinggal warganya menjadi buruh migran ke luar negeri. Kini, sudah banyak warga sekitar yang mandiri berkat festival egrang, tanoker dan pemberdayaannya.

Ciciek, panggilan akrabnya menceritakan kisah Tanoker diawali dengan kepulangan keluarganya dari Jakarta ke Ledokombo pada 2009 lalu karena pengabdian kepada sang mertua, Suwarti, yang sudah senja dan tinggal sendiri. Ketika pulang, perempuan asal Ambon 26 Juni 1963 ini terenyuh mendapati banyak anak-anak di sekitar rumahnya ditinggal orang tuanya menjadi buruh migran ke luar negeri. Mereka rata-rata tinggal dengan kakek neneknya. Otomatis membuat perhatian kepada anak-anak ini tentu sangat kurang.

Oleh karena itu, dirinya dan Suporahardjo sang suami pun berinisiatif memberikan ruang bagi anak-anak ini untuk bahagia yakni dengan bermain. Bermain ini diwujudkan dengan egrang, permainan tradisional. “Awalnya hanya dibuat tiga pasang. Ternyata anak-anak suka,” tutur ibu dari Mokza dan Zero ini.

Bahkan, lama kelamaan anak-anak ini semakin banyak. Agar lebih seru, dibuatkan wadah bernama Tanoker yang artinya kepompong pada Desember 2009. Serta dibuatkan lomba festival egrang yang ternyata disambut anstusias, bukan hanya anak-anak tetapi juga warga.

Festival Egrang dan Tanoker ini adalah oase bagi anak-anak Ledokombo lebih bahagia. Sesuai dengan misinya yakni menciptakan beautiful sunrise to beautiful sunset. Mengantarkan anak-anak yang berhak bahagia, sehingga memiliki harapan yang lebih cerah di masa depan serta diharapkan nantinya saat lansia dia tetap bahagia.

Ternyata gagasan ini bukan hanya menciptakan kebahagiaan bagi anak-anak di Ledokombo saja, namun juga masyarakat sekitar. Pasalnya, Festival Egrang dari Tanoker ini semakin lama semakin besar dan sukses. Bukan hanya dari sisi peserta namun juga partisipasi masyarakat dan kunjungan tamu dari berbagai daerah termasuk mancanegara.

Hal ini tentu secara tidak langsung memicu pertumbuhan berbagai aspek lainnya. “Tamu yang datang ini tentu butuh makan dan tidur,” terangnya.

Ini menumbuhkan wirausaha sosial lokal kecil-kecilan di sekitar Tanoker. Mereka menangkap peluang tersebut untuk menumbuhkan ekonomi lokal. Misalnya, beberapa orang tua di Tanoker bereksperimen dengan kerajinan dengan nama Tanokraf, oleh-oleh khas Ledokombo.

Berbagai kerajinan menjadi buah tangan favorit para pelancong yang datang ke Ledokombo. Para tamu juga dilayani dengan berbagai makanan lokal yang disuguhkan oleh warga sehingga muncul kuliner unik, enak dan sehat.

Selain itu, tamu yang datang dari jauh termasuk wisatawan mancanegara tentu butuh tempat tinggal sementara. Rumah-rumah warga sekitar mendadak menjadi homestay bagi para tamu dari luar daerah. Puncaknya, pada 2017 lalu, ada 300 rumah warga sekitar yang jadi homestay. Pada Festival Egrang VIII pada 2017 lalu juga dihadiri oleh duta besar berbagai negara sahabat dan juga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise yang hadir langsung ke Ledokombo.

Bahkan, Yohana waktu itu memberikan penghargaan kepada Ledokombo dan Jember sebagai daerah layak anak. Warga ternyata malah senang rumahnya ditempati. Tidak semata dapat penghasilan, namun menambah saudara, silaturahmi dan pengalaman mengenal dunia orang luar. “Ada pride, orang ndesid didatangi bule,” ucap Ciciek bercerita.

Selain itu, Festival Egrang dan Tanoker juga sukses mengembangkan pemberdayaan pada warga mantan buruh migran. Ada ladang ekonomi baru dan tidak perlu kembali melanjutkan bekerja ke luar negeri. Cukup banyak warga yang memilih tinggal dengan keluarganya karena kebutuhan ekonomi terpenuhi dan bisa bersama memajukan daerahnya.

Ciciek pun tidak menyangka dari permainan tradisional egrang dan anak-anak Ledokombo bisa melakukan perubahan yang demikian hebat. “Ternyata anak-anak menjadi change maker. Kita salah selama ini mengobyekkan anak-anak, malah mereka bisa mengubah desanya yang menjadi kaki dunia. Mereka merubah dari his story (sejarah kaum lelaki, Red), menjadi her story (sejarah perempuan, Red) menjadi our story (sejarah kita semua, Red),” tuturnya.

Hal ini diamini oleh Eni Jumiati, warga Desa Sumbersalak Kecamatan Ledokombo yang pernah menjadi buruh migran di Taiwan pada 1999 silam. Dirinya merasakan secara langsung usai pulang dari buruh migran dan mengikuti pendampingan pemberdayaan melalui Tanoker.

Saat itu dirinya ikut pendataan mantan buruh migran di Ledokombo untuk dijadikan kelompok. “Senang, karena sebelumnya sama sekali tidak ada perhatian dari pemerintah kepada kami,” ujar Eni yang kini menjadi kader desa berpengaruh dan fasilitator unggulan di sekolah Ebok Tanoker.

Dia ingat sangat tersentuh saat ditanya jika tidak kembali menjadi migran, ingin apa. Bukan hanya didata, ternyata Tanoker memberikan pendampingan keterampilan agar bisa berdaya ekonomi. “Saat itu membuat jamu, karena banyak bahan tanaman obat di Ledokombo,” jelasnya.

Kini, pemberdayaan cukup berkembang karena muncul berbagai kelompok pemberdayaan di masyarakat. Bukan hanya saja untuk ibu-ibu, namun juga orang tua. Selain itu tidak hanya bergerak di bidang ekonomi, namun bergerak ke bidang sosial lainnya.

Hal yang sama diungkapkan oleh Elisa Menik, warga lainnya yang kini menjadi pengusaha perhiasan. Usai berkenalan dengan Tanoker yang membuatnya tidak kembali menjadi migran. Padahal, hampir tujuh tahun dirinya menjadi buruh migran.

Dirinya sadar, hasil menjadi migran akan selalu habis jika tidak memiliki kemndirian ekonomi di rumah. Makanya, Elisa membuat usaha perhiasan. Kehadiran Tanoker pun membuat perhiasannya banyak dikenal termasuk sejumlah tokoh nasional.

“Bisa membantu ekonomi. Sebelum korona dulu banyak tamu ke Ledokombo. Rumah juga menjadi homestay. Kita bisa punya teman yang banyak. Ada yang menginap kan jadi keluarga kita juga,” tuturnya. Dirinya pun berharap pandemic Covid-19 bisa segera usai dan pariwisata bangkit kembali.

Sumber: radarjember.jawapos.com

Jurnalis : Jumai
Fotografer: Jumai
Redaksi : Lintang Anis Bena Kinanti
SHARE